Lihat ke Halaman Asli

Veronica Yuliani

Guru bahasa yang jatuh cinta dengan cello, panflute, dan violin.

Ayah, Sayangilah Ibuku

Diperbarui: 25 Maret 2020   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya sangat senang melihat gambar seorang ayah yang sedang menggendong atau bermain dengan anaknya. Entahlah, ada perasaan hangat dalam hati jika melihat hal seperti itu. Bahkan, saya menyimpan beberapa gambar semacam itu di hp saya. Saya tidak tahu bagaimana ilmu psikologi menjelaskannya. Saya hanya menduga ada kerinduan yang dalam dalam jiwa saya akan kasih sayang seorang ayah.

Ayah saya seorang yang keras. Ia seringkali mudah lekas marah terutama kepada ibu. Saya tidak tahu penyebabnya. Mungkin karena ekonomi keluarga memburuk dan ia merasa gagal membahagiakan keluarganya. Lantas ia meluapkan emosinya dengan marah kepada ibu saya.

Saya tumbuh dalam rasa ketakutan. Sejak kecil entah telah berapa kali saya lihat pertengkaran dalam keluarga saya. Jika itu terjadi saya hanya duduk menangis dalam diam serta menahan gemetar dan gejolak dalam hati. Saya seringkali kehilangan hasrat melakukan sesuatu jika semua itu terjadi. Bahkan untuk bergerak mengeser tempat duduk pun enggan.

Saya lima bersaudara dan kelima anak ini, termasuk saya pernah bertengkar melawan ayah saya.  Saya melihat adegan demi adegan pertengkaran antara ayah saya dengan kakak saya yang pertama hingga kakak saya yang ke empat. Kami semua melawan ayah karena tak terima dengan perlakuan beliau terhadap ibu kami. Ayah suka main tangan kepada ibu saya. Jika ayah mengamuk, barang-barang di rumah semua bisa hancur, dari perabotan sampai pintu rumah pun jebol.

Waktu saya masih TK saya pernah melihat ayah saya memukul ibu saya dengan pelepah kelapa hingga batang itu patah. Saya hanya bisa menangis dan menjerit-jerit ketakutan. 

Saya pernah melihat pertengkaran antara kakak saya yang ke tiga dengan ayah saya. Waktu itu pagi hari, ibu saya sedang pergi ke pasar. Yang ada hanya kami bertiga. Kakak saya mengucapkan satu kata yang menyinggung ayah saya hingga terjadilah perkelahian. Ayah saya dibenturkan ke pintu, kakak saya dicekik. Saya menjerit-jerit sambil menangis hingga akhirnya tetangga saya datang melerai.

Waktu saya SMA saya pernah bertengkar dengan ayah karena membela ibu. Ayah saya menuduh ibu saya yang tidak benar. Karena melawan, ayah saya sampai mengacungkan golok di depan kepala saya. Saya takut gemetar, tetapi saya tatap mata ayah saya hingga akhirnya beliau pergi.

Ah, syukurlah masa-masa itu sudah berlalu. Kini ayah saya sudah menjadi lebih baik. Bukan berarti tidak terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, tetapi setidaknya beliau tidak memukul ibu atau menghancurkan barang-barang di rumah seperti dulu waktu saya masih kecil.

***

Kami memang tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan disiplin. Kami tidak pernah menyelewengkan uang spp kami seperti yang dilakukan oleh teman-teman kami. Kami juga berprestasi dalam bidang akademik. Tapi tahukah kalian bahwa semua hal buruk yang terjadi di masa kecil itu kini menyisakan hal yang kurang baik dalam diri kami.

Satu, karena sering melihat pertengkaran di rumah saya jadi sering bermimpi buruk dan menangis dalam tidur. Itu terbawa hingga dewasa. Terakhir seingat saya di tahun 2010 lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline