Lihat ke Halaman Asli

Wisdom dalam Dunia Kompetitif

Diperbarui: 29 September 2024   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau (Amsal 2:11)

Beberapa hari yang lalu saya memiliki teman baru. Teman ini sangatlah kompetitif sehingga apa yang dirasa tidak adil menurut pandangannya maka ia sudah pasti mempersoalkannya. Saat itu, saya bertemu beberapa kali dengannya. Teman baru saya selalu membicarakan ketidakadilan yang menurutnya sedang dialami. 

Persoalannya adalah dia baru saja lulus kuliah. Dia dan temannya memiliki indeks prestasi komulatif yang sama. Temannya terpilih memberikan sambutan pada acara wisuda dan dirinya tidak mendapatkan kesempatan itu. Pengalaman itu bagi teman baruku ini menjadi berita yang hot karena terus dia bicarakan saat bertemu dengan para alumni.

Pengalaman teman saya itu menggelitik diri saya. Dalam sejarah kuliah saya yang telah berlalu lama pada perguruan tinggi sebelumnya memiliki kebijakan bahwa semua mahasiswa cumlaude atau lulus dengan pujian diberi peran dalam perayaan entah pada saat yudisium atau pada saat wisuda. Rektor menyempatkan diri menerima para lulusan cumlaude. Dari pengalaman ini saya belajar bahwa masing-masing institusi memiliki kebijakan sendiri-sendiri sesuai dengan situasi institusi tersebut. 

Masing-masing institusi memiliki ketentuan sendiri-sendiri dan memiliki indikator yang berbeda dalam menentukan suatu kebijakan, misalnya dalam hal ini mahasiswa yang ditunjuk untuk berperan dalam suatu acara. Ada banyak institusi pendidikan yang tidak menyatakan bahwa dalam suatu program studi dengan indeks prestasi tertinggi merupakan mahasiswa terbaik dalam bidang akademik. 

Hal itu tentu sudah dipertimbangkan masak-masak. Menyikapi situasi tersebut diperlukan kebijaksanaan. Ibarat padi makin tua makin menunduk. Belajar dari padi tersebut dapat berarti bahwa manusia semakin tua hendaknya semakin berisi dan semakin menunduk. Hal itu bisa disimpulkan dengan satu kata, yaitu memiliki kebijaksanaan.

Kata "kebijaksanaan" dalam bahasa Indonesia berasal dari akar kata "bijak". Kata "bijak" sendiri memiliki akar yang lebih tua dan kompleks. Kata kebijaksanaan diserap dari bahasa Sanskerta, yaitu berasal dari kata "vid". "Vid" memiliki arti "tahu" atau "mengetahui". Dalam perkembangannya, "vid" mengalami perubahan bentuk dan menjadi "vijaya" yang berarti "kemenangan" atau "keberhasilan". Konsep "bijaksana" kemudian dihubungkan dengan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan membawa pada hasil yang baik. 

Dalam bahasa Arab kata "bijak" berarti "hikmah". "Hikmah" memiliki arti yang lebih luas, mencakup kebijaksanaan, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan. Dengan demikian "kebijaksanaan" merujuk pada: pengetahuan, pengalaman, kemampuan berpikir, kecerdasan emosional, dan nilai-nilai yang diyakini. 

Secara garis besar, kebijaksanaan adalah suatu kualitas yang kompleks yang melibatkan aspek kognitif, emosional, dan moral. Orang yang bijaksana tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan yang baik sebagaimana dituliskan dalam Kitab Amsal ayat 11, "Kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau".

Belajar dari ilmu padi bahwa semakin tua semakin menunduk maka sangatlah penting menumbuhkembangkan kebijaksanaan dalam diri sendiri. Selama masih hidup, sikap kebijaksanaan sangat diperlukan untuk menyikapi situasi nyata kehidupan. Ada beberapa cara mengembangkan kebijaksanaan.

1. Terus belajar dengan membaca

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline