Lihat ke Halaman Asli

Yulia Fitrianingsih

Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Demostrasi Berjilid-Jilid, Mana Hasilnya? Upaya Pemerintah Melemahkan Gerakan Sosial di Indonesia

Diperbarui: 11 Maret 2022   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak yang bertanya mana hasil dari demonstrasi ReformasiDikorupsi yang terjadi tahun 2019 lalu? Atau mana hasil dari demostrasi Omnimbus Law yang terjadi tahun 2020 itu? Dan masih banyak lagi demonstrasi-demonstrasi lainnya yang dipertanyakan mana hasilnya. Lantas, mana hasil dari demo-demo yang kerap kali terjadi dilakukan di depan gedung DPR dan lainnya? Sedihnya memang sampai saat ini masih banyak aksi-aksi demonstrasi tersebut yang masih belum jelas akhirnya. Bahkan gerakan seperti Omnimbus law pun bisa dikatakan kecolongan dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang sebelumnya menciptakan kekisruhan itu. Lalu mengapa hal ini terus terjadi? Apakah ini karena gerakan sosial di Indonesia yang belum kuat? Atau pertahanan yang dilakukan pemerintah yang anti demokrasi terlalu kuat?

Sebenarnya hal ini bisa dikatakan dimulai dengan sejarah di pertengahan tahun 1960-an di mana anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) berserta simpatisannya diberantas dari negara Indonesia. Berakhirnya gerakan radikal ini secara tiba-tiba terjadi pada tahun 1965-1966 ketika PKI dikambing hitamkan sebagai dalang dari peristiwa G30S. Sejak itulah selama tahun tersebut terjadi pembantaian besar-besaran kepada anggota PKI beserta simpatisannya oleh militer dan sekutunya lalu setelah itu Partai Komunis Indonesia beserta afiliasinya resmi dilarang di Indonesia bahkan organisasi independen pekerja, petani dan kelompok marjinal lainnya secara efektif dilarang. Kejadian pembantaian terhadap PKI beserta simpatisannya pun membuat ketakutan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Sejak saat itu PKI dianggap seperti hantu yang sebisa mungkin dijauhi. Banyak dari mereka yang tidak berani secara frontal melakukan gerakan menetang rezim Orde Baru karena hal ini sangat beresiko. Namun meskipun begitu, gerakan sosial tak berhenti sampai situ saja. Seiring berjalannya waktu pertentangan terhadap rezim orde baru pun mulai muncul. Pada akhir 80-an sebenarnya telah ada juga upaya untuk menghidupkan kembali agenda politik sayap kiri. Beberapa aktivis mahasiswa membentuk kelompok belajar dan menemukan kembali ajaran marxisme klasik dan karya radikal lainnya. Pada pertengahan 90-an terbentuklah PRD (Partai Rakyat Demokratik) berbasis siswa dan melakukan konfrontasi langsung terhadap rezim. 

Sejak saat itu PRD pun mulai mengorganisasikan sejumlah protes terhadap pemerintahan saat itu. Walaupun kecil, kelompok ini cukup berkembang dan secara terbuka menunjukan tujuannya untuk mengganti rezim dan melakukan mobilisasi untuk meraih tujuannya itu. Namun lagi-lagi gerakan ini pun berhasil dilemahkan oleh rezim saat itu. Pada tanggal 27 Juli 1996 PRD dianggap sebagai komunis dan dituding sebagai dalang dari kejadian kerusuhan yang terjadi di kantor DPP PDI. Banyak aktivis PRD dipenjara termasuk Ketua Umumnya, Budiman Sudjatmiko. Meskipun alasan sebenarnya dari melemahnya PRD karena terpecahnya PRD menjadi dua fraksi besar, tetapi akhirnya juga kepamoran PRD perlahan redup dan pada tahun 2010 akhirnya berganti ideologinya menjadi berazas Pancasila.

 Selanjutnya meskipun gerakan berbasis buruh mulai lemah, tetapi ketidakpuasan kondisi sosial-politik pun seolah membuat celah munculnya kembali gerakan sosial. Meskipun stigma buruk tentang komunis masih sering digaungkan di masyarakat, gerakan kiri ini pun muncul dalam bentuk lain yaitu dengan retorika islam. Hal ini terjadi karena retorika ini bisa menyatukan kepentingan yang berbeda dan kontradiktif dari aliasi lintas kelas. Meskipun awalnya gerakan ini bermula dari kasus penistaan agama, namun gerakan 212 juga kerap kali menyinggung pemerintah atas kegagalan atas kondisi struktural serta menyebar kebencian terhadap elit. Gerakan ini bahkan didukung atau lebih tepatnya dimanfaatkan oleh para politikus oportunis seperti Anies Baswedan dan Prabowo Subianto untuk mendapatkan suara di perpolitikan hingga akhirnya mereka dapat menjabat di pemerintahan saat ini. Namun walaupun begitu, sampai saat ini tuntutan-tuntutan serta agenda islam masih terpinggirkan dan gerakan populisme islam ini hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan mereka. Belum lagi pembubaran HTI hingga Ormas seperti FPI terhadap demokrasi di Indonesia. Negara menganggap lahirnya populisme islam sebagai 'ancaman' bagi NKRI serta membuat narasi NKRI harga Mati menyangkut radikalisasi populisme islam ini mengancam NKRI serta menjadikan NU sebagai islam moderat sebagai gambaran dari islam yang NKRI. Lagi, gerakan sosial ini dapat dilemahkan oleh pemerintah.

 Kembali ke paragraf awal, berlanjut ke tahun 2019 muncul gerakan sosial bertajuk ReformasiDikorupsi serta gerakan Omnimbus Law pada tahun 2020. Kali ini kedua gerakan ini dimotori oleh para mahasiswa yang sebenarnya kurang bisa memberikan ancaman yang berarti bagi pemerintahan. Gerakan mahasiswa yang sebelumnya dianggap dapat melakukan perubahan bahkan menjatuhkan rezim otoriter Soeharto yang membuka jalan lahirnya demokrasi. Padahal pada saat itu, sebenarnya gerakan mahasiswa bukan satu-satunya alasan jatuhnya Presiden Soeharto yang telah menjabat selama 31 tahun itu. Kondisi struktural seperti krisis moneter hingga menguatnya faksi militer yang berseberangan dengan penguasa juga yang menjadi alasan dari lengsernya rezim Soeharto. 

 Untuk gerakan mahasiwa ReformasiDikorupsi dan Omnimbus Law, keduanya dianggap berumur pendek bahkan oleh beberapa pengamat dianggap gagal karena tuntutan dari pengunjuk rasa belum dipenuhi. Untuk gerakan ReformasiDikorupsi, Presiden Joko Widodo menyerukan untuk membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara signifikan melemahkan kekuasaannya. Sementara untuk gerakan Omnimbus Law, RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Meski mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat dengan demonstrasi besar-besaran saat itu, pemerintah tetap konsisten pada pendiriannya karena seperti yang sudah dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa ini tidak memberikan ancaman berarti bagi pemerintah. Presiden Jokowi pada saat itu bahkan menanggapi kekacauan ini dengan memberikan pernyataan bahwa berita yang tersebar mengenai UU ini melanggar HAM terutama kaum buruh serta merusak lingkungan sebagai hoaks dan memanfaatkan kondisi Covid-19 untuk membubarkan massa yang melakukan demonstrasi. Pemerintah juga melakukan pemblokiran lewat jalur hukum dengan bekerja sama dengan para hakim MK untuk melindungi UU ini agar tetap disahkan. Hal ini tampak jelas dengan di revisinya UU tentang masa jabatan hakim yang bertambah menjadi maksimal 15 tahun dari yang sebelumnya hanya maksimal 5 tahun. Hal ini semakin memperjelas bahwa lagi-lagi pemerintah melemahkan gerakan sosial di Indonesia.

 Jadi begitulah beberapa upaya dari pemerintah yang berusaha melemahkan gerakan sosial di Indonesia. Mungkin inilah alasan mengapa gerakan-gerakan sosial di Indonesia nampak seperti tak membuahkan hasil karena pengaruh pemerintah dalam gerakan-gerakan sosial di Indonesia cukup kuat untuk melemahkan sejumlah pergerakan dari masyarakat. Selain itu, beberapa kekurangan dari beberapa gerakan sosial itu juga menjadi salah satu faktor dari masih lemahnya gerakan sosial di Indonesia seperti fragmentasi serta kurang mengancamnya gerakan ini bagi pemerintah. Sebenarnya kekuatan pengancam yang signifikan dalam masyarakat kapitalis terletak pada buruh yang berserikat dengan cara melakukan mogok kerja serta sabotase. Namun sayangnya karena kejadian tahun 1965, kejadian ini membuat ketakutan serta melemahnya organisasi pekerja serta kelompok marjinal lainnya di Indonesia sehingga saat ini sangat sulit ditemukan gerakan sosial dari para buruh. 

Namun walaupun begitu, tulisan ini juga membuktikan bahwa meskipun sering dilemahkan, masyarakat tetap akan terus mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap pemerintah. Masyarakat akan terus melahirkan generasi reformis baru sebagai respon dari kondisi struktural di Indonesia. Mungkin hal ini bisa menjadi salah satu harapan bagi Indonesia agar bisa lebih baik kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline