Sedewasa apapun anak remaja kita, dia tetaplah anak-anak bagi orang tuanya.
Sepekan yang lalu, anak saya berangkat ke sekolah sendiri dengan mengendarai sepeda onthel. Malam jelang keberangkatan, ia sudah minta izin duluan. Katanya;
"Bu, besok aku ke sekolah naik sepeda, ya."
"Yakin....?"
Jawab saya sedikit ragu, pun merasa gundah oleh keputusannya. Seakan belum rela melepas anak bepergian atau berangkat sekolah sendirian.
Setelah diberlakukan pembelajaran secara tatap muka, pulang pergi sekolah diantar jemput bapaknya, karena jarak tempuh rumah hingga sekolah sekitar 5 sampai 6 km.
Namun, jelang masuk sekolah ia kembali minta izin untuk berangkat sendiri. Jujur, batin saya tidak tega dan menginginkan suami mengantar hingga lepas jalan raya kabupaten.
Karena jalan di depan ruko hingga pertigaan pabrik garment di dekat kami begitu padat, apalagi bersamaan karyawan masuk kerja, juga lalu-lalang kendaraan membuat suasana makin riuh.
Akan tetapi anak saya tetap nekat bersepeda. Katanya, kepingin mengenal lebih dekat teman-temannya yang bersepeda pula. Sekaligus ingin tau seluk beluk di sekolahan.
Sebab, semenjak tahun ajaran baru letak toilet pun belum tau. Maka, ia putuskan untuk berangkat lebih awal guna mengamati fasilitas sekolahan.
Pagi itu pukul 7:30 WIB, seperti hari-hari biasanya, saya sudah siap beraktivitas. Saat toko ramai dan karyawan belum hadir semua, saya beserta suami turun tangan melayani pembeli.