PKI oh PKI.. Entah apa yang ditakutkan dari barang yang satu ini. Komunis, Marxis, atau apalah sebutannya itu, hanyalah sebuah ideologi layaknya Liberalisme dan Pancasila. Indonesia sebagai negara demokrasi seakan takut sekali dengan hal tersebut. Lambang palu arit di Indonesia selalu dikonotasikan dengan Partai Komunis Indonesia dan mendatangkan trauma bagi keluarga korban tragedi G30S.
Lambang palu arit sepertinya sedang menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah. Baru-baru ini seorang pemuda yang mengenakan kaus bergambar palu arit ditangkap dalam sebuah konser. Empat pemuda di Maluku yang memiliki kaus dengan gambar yang sama juga ditangkap. Tidak ketinggalan, dua penjual kaus band metal dengan gambar lambang tersebut juga diamankan. Beredar pula kabar pemerintah melakukan penyitaan buku tentang komunisme. (kompasiana)
Kenapa Indonesia begitu takut dengan hal-hal yang berbau komunisme? Para aparat penegak hukum tengah gencar melakukan operasi terhadap atribut-atribut komunis sejak peringatan hari jadi PKI tanggal 9 mei kemarin. Para kader komunis Indonesia memang sedang mencoba menyebarkan paham komunis yang mereka anut dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan baju atau atribut yang berlogo palu arit.
Segala tindakan yang dilakukan aparat keamanan semata-mata hanya untuk mencegah penyebarluasan paham komunisme. Indonesia bukan phobia terhadap komunis ataupun PKI, namun pemerintah tidak mau jika komunis menjadi masalah besar baru di tengah masalah-masalah yang dihadapi negara dewasa ini.
Komunisme sudah bangkrut di seluruh dunia. Negara-negara yang mendasarkan dan menganut ideologi komunis ini roboh berantakan. Marxisme dengan segala variannya sudah tidak laku lagi diperdagangkan. Di negara-negara demokrasi yang menjujung tinggi supremasi hukum, ideologi ini ditertawakan orang. Di negara Indonesia, yang lemah akan penegakan hukum dan rakyat sudah makmur, ideologi ini mulai muncul lagi ke permukaan.
Sebenarnya komunis tidak perlu ditakuti, namun tetap harus diwaspadai perkembangannya karena bagaimanapun, menurut saya pribadi, tidak akan cocok untuk diterapkan di Indonesia. Marx, Lenin, Stalin, Mao, dan beberapa tokoh komunis lain sudah tidak ada, begitupun sistem yang mereka terapkan karena memang kurang tepat diterapkan dalam kehidupan manusia.
Namun harus diakui, bahwa perkembangan teori Marxisme beberapa tahun silam bisa dikatakan cepat. Bagi penganutnya, Marxisme tidak hanya dianggap sekedar teori, namun lebih sebagai pandangan hidup dan cita-cita perjuangan. Mereka berubah menjadi kaum yang fanatik dan dogmatis. Banyak pengikutnya, dan banyak juga penentangnya.
Sejak berpuluh tahun dunia Barat melakukan observasi terhadap ideologi komunisme di beberapa negara, dan hasil dari pengamatan sama saja yaitu penidasan, dan totaliterisme. Sebut saja pengejaran Stalin, pengusiran rakyat Vietnam dengan kapal laut, pengambil alihan Kamboja, G30S di Indonesia, di dalam semua itu wajah komunisme sangat bengis.
Tingkat produktivitas rendah, inefisiensi, dan korupsi tidak dapat dielakkan dari harkat komunisme. Itulah yang dikatakan beberapa tokoh mantan penganut paham ini. Marxisme ternyata menjadi ideologi yang sangat menguntungkan tokoh-tokohnya saja karena ideologi ini menghasilkan teks-teks janji dan slogan yang luar biasa demagogis, yang terlihat ilmiah, namun ternyata tidak.
Vladimir Lenin, tokoh komunis mantan Presiden Rusia pernah berkata, listrik akan menggantikan Tuhan. Biarlah para petani menyembah listrik. Karena nanti mereka akan merasa bahwa kekuasaan listrik lebih besar dari pada kekuasaan langit. Sungguh pandangan yang menurut saya, salah.
Marxisme sebagai suatu ajaran maupun strategi perjuangan dalam sejarah dunia belum pernah sekalipun membawa suatu bangsa, atau suatu masyarakat ke dalam kemakmuran dan keadilan. Cerita-cerita sadis dan seram dilakukan oleh pera rezim otoriter Marxis di Uni Soviet, RRC, Kuba, Vietnam, Kamboja dan sebagainya terhadap rakyat adalah yang paling sering terdengar ketimbang keberhasilan Marxisme dalam membangun negara dan suatu bangsa.