"Sometimes, I like to go into hidden mysterious place. It such a beautifull place"
Garut, 14 Juli 2017
Salah satu tempat misterius yang pernah saya kunjungi adalah sebuah candi yang terletak di Kampung Pulo Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi misterius yang beraliran Hindhu Siwa ini terletak di dataran di tengah danau. Asal usul nama Candi Cangkuang ini pun juga tidak diketahui nama aslinya dan dinamakan Candi Cangkuang karena terletak di desa Cangkuang.
Desa ini pun sungguh memukau perhatian saya karena Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Uniknya jika kita ingin menuju area candi, kita wajib menyewa perahu rakit atau"gethek"kalau orang Jawa bilang Kala itu langit bumi Sunda lumayan cerah sehingga saya bisa melihat dua dari empat gunung itu dari perahu rakit saat menyebrang danau. Yes, I was lucky at that time.
Kala itu saya tidak sendiri menjelajahi Candi Cangkuang, saya bersama dua orang dari Austria dan sangat antusias sekali mengunjungi candi peninggalan kerajaan Sunda Galuh. Ketika perahu rakit semakin mendekat ke dataran tersebut sudah terlihat Candi Cangkuang dari bawah karena candi ini terletak bersama agak tinggi dari permukaan. Kemudian kaki ini mendarat ke tanah dan pandangan mata langsung tertuju pada tulisan "Selamat Datang di Cagar Budaya Candi Cangkuang" kemudian kembali lagi melihat ke atas lagi.
Wahai candi cantik, sudah tak sabar lagi aku ingin melihatmu dari dekat, saya berkata dalam hati. Ketika langkah kaki ini mulai memasuki gerbang area Kampung Pulo. Kita dihadapkan para penjual souvernir dan aneka snack serta mie instant. Kami pun menyelusuri jalan di sela-sela para penjual tersebut dan akhirnya kami sampai di depan area inti Kampung Pulo dan terdapat tulisan Kompleks Rumah Adat Kampung Pulo.
Menurut sejarah yang pernah ditorehkan dalam tulisan, sebenarnya Candi Cangkuang sudah dicatat oleh Vorderman. Kala itu beliau menuliskan penelitiannya di dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893, yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno dan sebuah arca yang sudah rusak. Disebutkan bahwa temuan itu berlokasi di bukit Kampung Pulo. Namun Candi ini baru ditemukan kembali pada tanggal 9 Desember 1966 oleh Tim Sejarah Leles. Setelah ditemukan kembali, candi ini mulai dilakukan penelitian pada tahun 1968 dan pemugaran Candi Cangkuang sendiri dilakukan pada tahun 1974.
Pada saat awal penelitian, para sejarahwan melihat reruntuhan batu yang berserakan dan makam kuno serta arca Dewa Siwa yang terletak di tengah reruntuhan batu yang berserakan. Terdapat cerita jika batu-batu andesit tersebut juga sempat diambil oleh penduduk untuk batu nisan karena di daerah sana juga terdapat pemakaman umum. Well, who knows. Sama halnya seperti di Jawa Tengah para penduduk mengambil batu-batu reruntuhan candi untuk pondasi rumah bahkan untuk keperluan memasak.
Beberapa hal yang menarik dan membuat saya masih penasaran sampai sekarang tentang Kampung Pulo yaitu pertama, Candi Cangkuang tersebut konon berasal dari abad ke 8 Masehi dan sayangnya minim informasi. Sebagai pecinta dan penikmat sejarah, saya sudah berulang kali mencari buku tentang Candi Cangkuang namun, saya belum menemukannya. Menyelusuri secara online pun saya masih belum puas dengan informasi yang saya dapatkan.
Kedua, Makam kuno yang terletak disamping Candi Cangkuang ini adalah makam yang bertulisakan nama Arief Muhammad. Para penduduk setempat menganggap beliau sebagai leluhur mereka. Konon menurut sejarah yang saya baca dari salah satu sumber mengatakan bahwa beliau adalah salah satu senopati perang pada era Sultan Agung yang kala itu sedang memegang kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Menurut cerita tersebut, sang senopati memilih tidak kembali ke tanah Mataram Islam dan tidak tahu pasti alasan beliau tidak pulang ke Mataram dan malah menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Ketiga, Kampung Pulo ini merupakan kompleks kampung adat peninggalan Arief Muhammad dan pengikutnya yang tinggal di desa ini ratusan tahun yang lalu. Uniknya lagi, rumah di komplek kampung ini hanya berjumlah 6 rumah adat dan 1 bangunan masjid. Jumlah bangunan ini konon tidak pernah berubah. Jumlah rumah tersebut juga tidak boleh ditambah atau dikurang sejak dari dahulu kala. Semua rumah hamper tampak sama semua kecuali rumah tetua adat di sana. Hal yang membedakan adalah atap rumah tetua terlihat memakai penutup ijuk sedangkan atap rumah yang lain menggunakan genting semua.