Lihat ke Halaman Asli

Yulia SariHariyati

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Jejak Digital yang Bahaya

Diperbarui: 26 April 2021   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pictures by wallshaven.co.uk

Indonesia sangat terkenal dengan sebutan warganet, atau netizen, ketika kita membuka internet atau membaca halaman web di tempat umum pasti banyak mendengar istilah-istilah baru. Kita sering bingung tentang arti kalimat, lalu apa arti netizen?

Netizen adalah gabungan dari Internet dan istilah "Citizen". Biasanya netizen ini akan berpartisipasi aktif dalam komentar atau komunitas online. Hubungan yang mereka gunakan untuk mengutarakan pendapat dapat menjadi sumber penting untuk meningkatkan hubungan sosial yang tidak dapat kita peroleh di kehidupan nyata, terutama dalam berpendapat, Tak salah jika Netizen disebut dengan Cybercitizen.

Kini, sebagai penghuni internet, kita sebagai netizen bisa merasakan pro dan kontra dari jejak kaki digital yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kita. Adanya teks dan komentar serta tulisan bersuara memudahkan netizen untuk mengutarakan pendapatnya dengan leluasa. Kita harus waspada terhadap jejak digital di media sosial. Karena jika tidak dapat menggunakannya, kita bisa mendapatkan akibatnya.

Sekarang, mendidik anak-anak tentang keamanan Internet sejak dini menjadi sangat penting karena hal itu mendorong mereka untuk mengelola jejak digital yang positif, yang akan menjadi kekayaan di masa depan. Sekalipun footprint digital dianggap sebagai sebuah tanggung jawab, namun akan bermanfaat jika kita menggunakannya dengan bijak dan hati-hati. Jejak digital itu sendiri dapat mengungkapkan jati diri kita yang sebenarnya. Kita harus memiliki strategi yang baik untuk memastikan bagaimana membangun jejak digital yang positif dan inovatif dalam penggunaan ruang publik yang aman.

Ini karena konten yang akan kita bagikan di tempat umum atau di media sosial akan meninggalkan jejak digital, sehingga suatu saat artikel yang dihapus oleh pemilik akun akan muncul kembali. Seperti yang dikatakan Agung Harsyono dalam diskusi di Indonesian Technology Forum (ITF): "Saat berbagi konten di media sosial, konten yang suka dilupakan orang akan menjadi bagian yang kekal. Begitu ada yang menyimpannya, baru bisa diunggah kembali. dimanapun. Waktu ada di media sosial. Jika ini negatif, dapat merusak kehidupan masa depan kita yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya,

Ada juga UU ITE juga dilengkapi dengan seksi yang membahas soal jejak digital. Jejak digital merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal Tersebut tercatat dalam UU ITE Pasal 5 dan 6.

"Masyarakat kita harus lebih dewasa dalam menggunakan media digitization. Jejak digital media dapat berupa macam-macam, media consultant. Komentar yang tidak seharusnya seperti perihal body shaming, berita bohong, maupun ujaran kebencian yang melibat-kan suku, anagama, rasuku, antar agama".

Contoh kasus yang sempat viral tahun 2020 kemaren karena konten pornografi seorang artis diunggah ke media sosial, padahal jejak digital tak akan pernah hilang. Walaupun itu hanya untuk penyimpanan pribadi. Suatu folder bisa dihapus, tapi hal itu tidak sepenuhnya hilang. Oleh karena itu artis tersebut dan pemeran pria dikenakan  Pasal 4 ayat 1 Juncto Pasal 29 dan / atau Pasal 8 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. "(Ancaman Hukuman) paling rendah 6 tahun  Dan paling tingi 12 Tahun penjara,"

Jejak Digital Merupakan Reputasi seseorang dan akan dilihat oleh banyak orang. Tentu, seseorang ingin menjaga reputasinya dalam jangka panjang dan akan berpengaruh di masa depan.

Untuk terhindar dalam berkomentar yang negative di Ruang public atau sosial media ada enam langkah demi memiliki jejak digital yang positif dan tidak menjadi bumerang untuk diri sendiri, yaitu:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline