Lihat ke Halaman Asli

Duka Berhala

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kami adalah anak-anak batu
Terlahir dengan sebuah kutukan yang terpancar dari langit
dan menghujam curah ke hati yang tersayat terluka
Dalam kasih ibu yang terlupakan

Kami berlayar ke delapan mata angin
singgah di seribu pelabuhan dan melihat sejuta wajah
Kami melihat begitu banyak tari dan mendengar begitu banyak puisi
dan tiba di sebuah negeri
dimana saujana para pertapa mengheningkan cipta
Di bawah pohon Bodhi hingga berdiri di depan Arasy

Kemudian kami tiba di negeri para peri
yang diantaranya berbaris para raja dan ksatria
dimana warna pelangi tergambar pada baju zirah mereka
Seperti halnya kau tahu saat kau melihat garis bulan
yang putih seperti garis para gadis pemanen padi
Saat itulah kami tahu akan satu hal, Ibu
Kami tengah menjelajah taman asmara

Namun cinta kami adalah dosa
dan air mata bukan lagi bahagia
sebuah cerita duka
Karena kau inginkan tiada dua cinta

Di garis pantai itu kami meniti cakrawala
Tubuh kami tiada lagi menggelora
api itu telah memupus redup
Seiring air mata yang tak terurai
Kami mengerti, tempat kami tak lagi di sini

Ibu, andai kau melihat kami
yang kini terbujur seperti berhala
siang dan malam menghitung titik nadir para dewa
menghirup udara yang tak lagi hidup
dan aroma beku yang memeluk rasa kami

Kami tak membencimu, pun menyalahkanmu atas kutukmu
Hingga raga kaku dan nafas membeku
Kami tetap mencintaimu
tapi ampuni kami karena tak lagi bisa di sisimu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline