Bulan Oktober telah berlalu. Bulan yang menyisakan beberapa kisah yang menyedihkan tentang banyaknya korban dalam sebuah kerumunan.
Tragedi Kanjuruhan Malang, tragedi festival halloween di Itaewon, juga ambruknya jembatan gantung di India begitu menyita perhatian kita. Semua memberi gambaran betapa sangat rentannya berada dalam kerumunan karena mudah sekali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Lama tidak diperbolehkan berkerumun ternyata menimbulkan euforia saat ada event tertentu.
Ya, dua tahun semua membatasi diri gara-gara pandemi, akhirnya ketika diberi kelonggaran dalam penyelenggaraannya, berbagai event selalu dipenuhi banyak orang.
Seperti halnya saya sendiri, sebenarnya saya kurang suka mendatangi keramaian. Tapi saat ada karnaval di bulan Agustus, saya bersama anak saya bergegas menuju lokasi. Mengapa? Sudah lama tidak ada acara semacam itu, lagi pula lokasi karnaval tidak begitu jauh dari rumah.
Seperti yang diperkirakan sebelumnya, pengunjung karnaval demikian membludak. Bahkan tulisan Ijen Boulevard dipenuhi anak- anak kecil yang ingin menonton karnaval.
Para pedagang makanan berjajar di sepanjang jalan memanfaatkan momentum tersebut guna mengais rezeki sebanyak-banyaknya.
Namun kondisi tersebut masih bisa dikendalikan karena kesigapan dari Satpol PP dan kesadaran penonton untuk mengambil tempat di luar garis yang ditentukan, meski akhirnya para penonton termasuk saya rame-rame duduk di tepi jalan. Hehe, tak apalah. Setahun sekali.
Pukul setengah satu meskipun masih banyak atraksi peserta yang belum muncul kami pulang. Kondisi berdesak-desakan membuat badan rasanya begitu lelah.
Saat itu dari lokasi karnaval yaitu Jalan Ijen sampai ke rumah saya dibutuhkan waktu 1 jam lebih, sementara di hari biasa hanya sekitar 10 menit jalan kaki. Bisa dibayangkan betapa banyaknya penonton karnaval saat itu.
Nah, satu cerita lagi, baru-baru ini saya kembali menonton sebuah event dan akhirnya tak terasa saya terjebak dalam kerumunan.