Pagi merekah dengan senyumnya yang paling hangat. Menik membuka jendela kamarnya. Dua bunga melati tersenyum dan sesekali mengangguk diterpa sejuknya angin pagi. Pada kelopaknya ada sisa tetes embun yang jatuh semalam.
Selamat pagi melati, bisik Menik lirih. Ada sedikit genangan di matanya. Melati selalu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang begitu dekat dan sayang padanya.
Ingatan Menik tiba-tiba terlempar ke masa lalu. Seorang gadis kecil berkuncir dua yang setiap pagi selalu diajak berjalan-jalan oleh bapaknya.
Tiap pagi berdua mereka menyusuri jalan itu. Jalan menurun di depan bangunan SD yang kiri kanannya penuh dengan daun paitan. Ya, tiap pagi.
Bapak selalu mengerti Menik banyak bertanya dan tidak mau diam, karena itu Bapak mengajaknya jalan-jalan supaya ibuk bisa mengurusi adiknya yang jauh lebih kecil.
"Mengapa dinamakan paitan, Pak?" tanya Menik kecil. Bapak tersenyum.
"Karena rasanya pahit, " terangnya.
"Kenapa pahit?" tanya Menik lagi. Matanya menatap bapak penuh rasa ingin tahu.
" Karena mengandung obat, " mungkin bapak menjawab sekenanya saat itu. Bukankah tidak semua tanaman obat terasa pahit?
Hanya sekedar supaya pertanyaan Menik berhenti.
"Obat apa? " tanya Menik lagi.