Lihat ke Halaman Asli

Yuli Anita

TERVERIFIKASI

Guru

Tradisi Megengan dan Kue Apem yang Setia Menemani

Diperbarui: 11 April 2021   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kue apem, Sumber gambar: Suara Muslim

Tak terasa dua hari lagi kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Bulan yang penuh rahmat dan ampunan.  Bulan dimana kita berlomba-lomba untuk meningkatkan ibadah kita sebagai perwujudan rasa takwa kepada Allah swt.

Satu tradisi menyambut datangnya bulan puasa di daerah saya (Malang)  adalah Megengan.  Tidak hanya di Malang,  Megengan adalah tradisi yang banyak dilakukan di daerah-daerah di propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Megengan adalah wujud akulturasi antara budaya Jawa dan Islam. Pertama kali megengan dikenalkan oleh Sunan Kalijaga.

Sebelum Islam masuk masyarakat Jawa memiliki tradisi ruwahan.  Tradisi ruwahan ini berupa pemberian sesajen berupa makanan kepada para arwah nenek moyang. Oleh Sunan Kalijaga pemberian sesajen diganti dengan pembagian makanan untuk dimakan bersama.

Megengan berarti menahan. Ini menandakan bahwa sebentar lagi kita akan memasuki bulan dimana kita harus menahan segala nafsu dan keinginan yaitu bulan puasa. 

Megengan di kampung saya dilaksanakan dalam wujud selamatan bersama yang dilakukan di langgar atau masjid. Selamatan dilakukan dengan pembacaan tahlil dan istighotsah dengan tujuan kirim doa kepada ahli kubur dan harapan mudah-mudahan dalam menjalani ibadah puasa senantiasa diberikan kelancaran.

Ilustrasi megengan, sumber gambar: NusantaraNews

Ada satu jenis makanan yang selalu ada dalam megengan yaitu apem. Apem adalah kue yang terbuat dari tepung beras, ragi,  gula dan santan yang dipanggang atau dikukus.

Bagaimanakah sejarah kue apem dan mengapa harus apem?

Apem berasal dari kata afwan.  Artinya maaf. Oleh lidah Jawa kata afwan diubah menjadi apem supaya lebih mudah diucapkan.

Menurut cerita, kue ini  bermula dari Ki Ageng Gribig, yaitu keturunan Prabu Brawijaya yang kembali dari perjalanan ke tanah suci dengan membawa kue apem. Kue ini  kemudian dibagi-bagikan ke masyarakat. Karena masih kurang,  oleh Nyi Ageng Gribig dibuatkan lagi dalam jumlah yang banyak lalu dibagi-bagikan.  Hal ini kemudian menjadi budaya dan selalu dilaksanakan di saat syukuran.

Apem bagi masyarakat Jawa bukan sekedar kue. Tapi ia juga perwujudan dari permintaan maaf pada sesama karena sebagai manusia kita pasti pernah berbuat kesalahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline