Namanya Adib. Perawakannya tinggi agak kurus. Barangkali kalau dimasukkan standar ideal Body Mass Index dia termasuk kurang ideal. Di antara teman teman sekelas Adib anak yang paling kurus dan tinggi. Jadi kalau ada pelajaran yang memerlukan LCD pasti dia yang diminta untuk menyiapkan. Asal tahu saja, kadang ada teman yang iseng menyembunyikan remote LCD, untuk menghidupkan maka guru minta tolong Adib untuk naik meja dan langsung bisa menjangkau tombol LCD.
Adib anaknya pendiam dan cuek sekali. Kadang aku berpikir dia datang atau tidak datang tidak ada pengaruhnya bagi kelas. Selalu duduk di pojok belakang dan diam mengikuti pembelajaran. Tidak pernah bertanya ataupun berpendapat. Kadang aku curiga, jangan-jangan dia tidak pernah mencatat juga. Karena buku yang sering dibawanya kulihat itu itu saja. Kumal pula.
Diamnya Adib membuat kami sering mengolok- oloknya. Entah karena seragamnya yang sering kedodoran atau karena bicaranya yang agak gagap. Cara bicara inilah yang sering menjadi bahan bulan- bulanan kami untuk mengejeknya atau memberi julukan macam-macam. Untung wali kelas segera mengingatkan kami sehingga ejekan itu tidak berkepanjangan.
Pernah suatu hari kami beramai ramai menyembunyikan sepatu Adib saat menjelang pelajaran olah raga. Bisa ditebak Adib bingung sekali mencarinya. Kami kompak untuk pura-pura tidak tahu sebelum akhirnya guru olah raga memarahi kami semua karena terlambat datang ke lapangan. Akhirnya Adib mengikuti pelajaran olah raga tanpa sepatu, dan itu cukup menjadi bahan tertawaan kami sehari itu. Sesudah olah raga tiba-tiba sepatu Adib ditemukan di pojok kamar mandi putera. Siapa yang menyembunyikannya? Itu adalah rahasia kelas kami.
Satu hal yang mengherankan adalah Adib tidak pernah sedikitpun menampakkan perasaan sakit hati, jengkel atau marah pada kami. Wajahnya datar-datar saja. Paling hanya senyum. Atau mungkin senyum itu senjata karena dia tidak bisa membalas semua ejekan kami dengan kata-kata. Dia gagap bukan?
Bekerja dalam satu kelompok dengan Adib rasanya seperti sebuah mimpi buruk. Bayangkan, ketika kami mendapat tugas untuk membuat peta konsep biologi, dari dua kali pertemuan sekalipun ia tak pernah datang. Mau di whatsapp tak ada nomornya. (Baru terakhir ini aku tahu dia tidak punya hp).
Ketika aku marah-marah pagi harinya Adib cuma minta maaf sambil terbata-bata
"Ma.. Maaf Lin, ak.. aku tidak bisa datang kemarin, "
Segera kutinggalkan Adib dengan perasaan mendongkol. Enak saja, pikirku. Tidak ikut bekerja, tapi ikut dapat nilai. Namun kedongkolan itu agak mereda ketika peta konsep kami dikembalikan karena ada kekurangan di sana-sini dan Adib yang membenahi semuanya .
Sore itu kakak sepupuku yang kuliah di Bandung datang ke rumah. Kak Erma adalah idolaku.. Pintar, cantik lagi. Sekarang kuliah di sebuah perguruan tinggi terkenal di sana. Keren habis pokoknya. Bersama Kak Ema obrolan yang lama seperti tak terasa.
"Cari nasi goreng yuk..? " ajak kak Erma. Jam sudah menunjukkan pukul 08.20. Habis ngobrol agak lama membuat perut kami keroncongan .