Di belakang rumahku ada sebuah pohon mangga. Pohon itu berdiri kokoh seolah melindungi segala sesuatu yang ada di bawahnya. Sejak aku masih kecil pohon itu sudah berdiri di situ bersama teman-temannya. Ada jambu air, rambutan dan jambu biasa. Suasana di belakang rumah sangat rindang dan sejuk karena kehadiran pepohonan ini.
Yang paling menyenangkan adalah saat mereka berbuah. Oleh pemiliknya beberapa jambu air yang sudah mulai besar diblongsong supaya tidak dimakan codot. Codot adalah sebangsa kelelawar yang suka akan buah- buahan.
Jika jambu air sudah mulai memerah pemiliknya mengerahkan anak dan cucu untuk memanen jambu air itu. lalu dibagi-bagikan pada tetangga. Rumahku pasti kebagian. Hitung-hitung gantinya talang belakang rumah yang sering buntu karena kemasukan daun daun kering. Jambu air yang diberikan biasanya akan kami makan begitu saja atau dibuat rujak manis. Hmm.. Sedap sekali rasanya, apalagi kalau makan bersama teman-teman habis main betengan.
Entah mengapa pohon suatu hari pohon jambu air itu tiba-tiba ditebang. Tidak ada lagi kiriman jambu air saat panen. Tak berapa lama setelahnya didirikan rumah baru di situ. Sejak itu kalau rindu makan jambu air ibuk biasanya ke pasar dan membeli barang 1-1.5 kilo.
Tak apalah masih ada pohon mangga. Mangga manalagi pula. Saat berbuah, wow.... Aku selalu menunggu-nunggu diberi satu kresek besar penuh mangga manalagi. Biasanya kami para tetangga diberi masing masing satu kresek. Mangga yang tidak mempunyai rasa asam sama sekali. Mungkin diberi nama manalagi karena tiap makan kita minta dengan berkata 'mana lagi? ' saking enaknya.
Pohon mangga ini sering kujadikan pertanda. Kata orang -orang tua dulu saat bedhidhing akan tiba ketika bunga pohon mangga jatuh ke tanah. Entah benar atau tidak, yang jelas, saat bedhidhing selalu ditandai dengan pohon mangga di belakang rumah mulai berbunga.
Pohon mangga dengan daunnya yang lebat selalu menimbulkan suasana adem. Apalagi saat daunnya gemerisik karena tertiup angin. Aku sering memperhatikan saat malam diterpa cahaya bulan dan lampu halaman belakang yang redup gerakan daunnya seperti lambaian tangan mahluk dari negeri antah berantah. Sedikit menyeramkan tapi juga menyenangkan karena aku melihatnya bersama kakak dan adik dari balik jendela rumahku sambil berimajinasi dengan pikiran kami masing-masing.
Sampai akhirnya tiba-tiba anak dari pemilik pohon mangga yang merantau pulang . Menurut kabar orang-orang kampung ,anak itu sukses menjadi pedagang besar di sebuah kota. Saat pulang, para tetangga diundang makan makan sebagai rasa syukur atas kepulangannya.
Suatu pagi aku mendengar suara gaduh di belakang rumah. Beberapa laki-laki, yang ternyata pemborong dan tukang tampak sibuk. Ternyata rumah tersebut akan direnovasi. Sehubungan dengan banyaknya mahasiswa perantau di kampungku maka rumah pemilik pohon mangga itu akan direnovasi, ditingkat tiga. Wow, bagi orang kampung seperti aku membayangkan rumah ditingkat saja susah.
Dengan antusias aku mengikuti perkembangan renovasi rumah itu. Tapi sesuatu yang sama sekali diluar dugaanku terjadi pagi itu. Suara gergaji mesin meraung memecah kesunyian pagi. Pelan tapi pasti pohon mangga itu ditebang dan diratakan dengan tanah. Aku ingin menangis melihatnya. Kenapa hanya untuk membuat rumah bertingkat pohon itu harus ditebang?
Kutanyakan hal ini pada bapak. "Akarnya bisa merusak bangunan, Nduk... ,"jawab Bapak.