'Kita', nama yang tercipta dari aku dan kamu, sebelum kita menjadi masing-masing dan terasing.
Memudar seiring bola bumi yang terus berputar tanpa dihentikan. Kenangan yang tertinggal pada jejak kering kini meretak, seperti hatiku kepadamu. Yang sebentar lagi hilang tersapu angin panas siang ini.
Kita, pernah duduk di tepi pantai memandang deburan ombak memecah karang, tertawa jika kita tak akan terpecah menjadi buih air dan perlahan menghilang. Selesa bumi tak menelan kita dalam riak amarah atau curiga, sebab janjimu akan menjadi air kala bara membakar jantungku, hangus.
Kita pernah bermimpi menjadi burung, kemanapun terbang selalu ingat sarang indah yang memanggil pulang. Itulah hati kita, selalu merindu pelukan, kecupan, sentuhan, dan suara detak jantung layaknya harmoni alam yang memanggil raga menetap.
Rasanya telah sempurna, seperti aku yang tersipu malu memandang cermin dan bergumam akulah cinderela bersepatu usang. Dalam siang dan malam tak longgar kuberi jeda pada pinta yang ditiupkan ke langìt. Menembusi lapisan mega hitam, menubruk bulan, memantul ke bintang dan tangan kuasa menuangnya dalam kirbat.
Namun ombak menyapu kita dalam sadar, aku dibutakan oleh sinarmu. Hangatnya kini berselimut dingin dan beku saat kau membalik punggung, seperti kita tak pernah ada. Robek sudah jantung ini, selepas mentari menyambut, aku tak jua bersambut. Janji seperti kain usang dipinggir kolam, tenggelam dalam dusta.
Terima kasih untuk kepingan hati yang kau curi. Berlaksa aksara tak mampu menghapus jejak, terlanjur hancur tak mampu berlekat lagi. Mari mencari jalan masing-masing karena arah ke sarang telah terbelah. Aku tak mampu mengeja kata sabar dan tabah, pada sebuah hati yang telah bercabang.
Timika, 3 Agustus 2021
Yulen Waremra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H