Pandemi virus Covid 19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 yang lalu membuat kehidupan masyarakat berubah. Jika pada masa sebelumnya masyarakat dapat bebas beraktifitas, selama pandemi ini berlangsung aktifitas masyarakat menjadi terbatas. Untuk memutus rantai penyebaran virus Covid 19, pemerintah telah mengeluarkan intruksi kepada masyarakat untuk belajar di rumah, beribadah di rumah, dan bekerja di rumah. Selain mengeluarkan intruksi untuk tetap di rumah, para penegak hukum juga tidak segan menindak para pelanggar yang masih berkeliaran di luar rumah tanpa tujuan yang jelas, tidak memakai masker di luar rumah, dan membuat kerumunan.
Selama pandemi ini, penggunaan alat telekomunikasi seperti telepon pintar, laptop, tablet menjadi lebih sering. Hal ini disebabkan karena alat telekomunikasi tersebut menjadi media penunjang belajar, hiburan, dan penunjang pekerjaan di kala pandemi. Untuk memaksimalkan fungsi dari alat telekomunikasi tersebut, tentunya kita membutuhkan sinyal internet. Untuk mendapatkan akses internet, masyarakat berupaya membeli kuota data dan memasang wi-fi di rumahnya. Secara tidak langsung, pandemi ini membuat internet menjadi barang primer.
Pandemi covid-19 membuat sekolah dan kampus ditutup hingga situasi aman. Sambil menunggu situasi pandemi aman, pemerintah menyuruh sekolah dan kampus untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh supaya pelajar dan mahasiswa tidak mengalami ketertinggalan materi pelajaran hanya karena pandemi.
Penulis mengakui, penutupan lembaga pendidikan selama pandemi ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Di kubu pro, penutupan lembaga pendidikan merupakan salah satu cara mencegah pelajar dan mahasiswa tertular oleh virus Covid-19. Namun di kubu kontra, penutupan lembaga pendidikan selama pandemi merupakan sesuatu yang tidak adil dan malah membawa anak-anak ke dalam "kebodohan". Penulis menganggap penutup lembaga pendidikan selama pandemi merupakan langkah yang sudah tepat. Karena pelajar terutama di jenjang taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah dasar (SD) masih dianggap belum mengerti arti penting dari protokol kesehatan. Lalu, aktifitas belajar di sekolah umumnya berlangsung lama dan berpotensi menimbulkan penularan virus karena antar siswa sulit menjaga jarak sebagai akibat dari eratnya hubungan pertemanan antar pelajar di sekolah. Dan umumnya, kegiatan pembelajaran dilakukan di ruangan kelas yang tertutup sehingga berpotensi besar menularkan virus. Sedangkan jika tempat usaha diwajibkan tutup seperti sekolah, tentunya akan berdampak negatif pada perekonomian. Jika tempat usaha diwajibkan tutup, dikhawatirkan akan banyak orang tua yang memiliki anak mengalami kehilangan pendapatan. Jika orang tua kehilangan pendapatan, pasti akan banyak anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membayar iuran sekolah. Memang di beberapa daerah sekolah sudah tidak memungut bayaran. Walaupun begitu, peralatan sekolah seperti seragam, tas, buku tulis, dan alat tulis tentunya masih dibebankan kepada orang tua. Pada intinya, dalam penutupan sekolah dampaknya tidak sebesar penutupan tempat usaha.
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) disikapi beragam oleh banyak pihak. Bagi anak dan orang tua dari kelompok menengah ke atas, hal tersebut disikapi secara oke-oke saja. Karena mereka mampu menyediakan sarana pembelajaran daring seperti laptop, tablet, dan telepon pintar. Ditambah lagi, mereka juga mampu membeli paket data dalam jumlah besar atau mampu memasang wifi di rumahnya. Selain itu, masyarakat menengah atas umumnya juga dianggap sebagai kelompok yang melek teknologi. Karena pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat menengah atas umumnya lebih mengandalkan "otak" ketimbang "otot". Apalagi kalau mereka tinggal di kota, pastinya mereka mudah mendapatkan sinyal internet.
Namun bagi anak yang berasal dari kelompok menengah ke bawah apalagi yang hidup di pedesaan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) merupakan sesuatu yang asing dan menimbulkan permasalahan karena adanya keterbatasan. Bentuk keterbatasan tersebut bisa seperti keterbatasan ekonomi orang tua untuk membelikan sarana belajar seperti ponsel pintar dan laptop untuk anaknya, keterbatasan akses untuk menjangkau sinyal internet, dan lain sebagainya. Karena keterbatasan tersebut, pada akhirnya banyak kasus di mana mereka harus putus sekolah karena tidak mampu membeli ponsel pintar dan laptop dan/atau membeli kuota data untuk belajar daring. Bagi yang masih mampu bertahan dalam kesulitan ini, mereka ada yang rela berjalan jauh ke gunung untuk mendapat sinyal lalu ada juga yang bekerja membantu orang tua untuk membeli kuota data dan ada pula yang meminjam ponsel pintar ke tetangganya yang mampu hanya untuk belajar daring. Mereka juga tidak bisa menyuruh orang tua mereka membantu belajar karena orang tua mereka umumnya berpendidikan rendah dan bekerja di sektor agraris dan informal yang berpenghasilan harian dan bernominal rendah dan selain itu pekerjaan mereka kurang atau bahkan tidak mengandalkan teknologi canggih. Sehingga mereka benar-benar mengharapkan sekolah sebagai sarana untuk mencari ilmu.
Permasalahan lain yang timbul akibat adanya pembelajaran jarak jauh (PJJ) yakni penyerapan materi yang kurang maksimal. Hal ini bisa disebabkan karena sinyal yang putus-putus atau spesifikasi laptop / ponsel pintar yang dimiliki kurang menunjang. Seperti yang kita tahu, pengguna internet yang di Indonesia hingga November 2020 kemarin ada 196,7 juta jiwa atau sekitar 72% dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 270,2 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, tentu operator layanan internet harus bekerja keras menyediakan layanan internet. Belum lagi bagi yang tinggal di kawasan wilayah terluar. Tentunya operator harus bekerja lebih keras lagi untuk menyediakan internet ke seluruh Indonesia secara merata. Untuk perihal laptop/ ponsel pintar, hal tersebut sering jadi masalah karena harga laptop/ ponsel pintar di Indonesia relatif mahal. Bagi orang yang berduit, tentu bukan masalah untuk membelikan laptop / ponsel pintar dengan spesifikasi canggih untuk anaknya. Namun bagi orang yang kurang mampu, membelikan laptop / ponsel pintar dengan spesifikasi minim saja kesulitan apalagi yang dengan spesifikasi canggih. Bisa membelikan untuk anak itupun sudah bersyukur.
Permasalahan lain yang timbul yakni perilaku anak menjadi "rusak" karena ponsel pintar. Penulis pernah melihat video di salah satu akun Instagram yang memperlihatkan sekelompok anak-anak yang tidak mampu menghafal atau minimal mengetahui nama-nama presiden Indonesia. Namun sebaliknya, mereka lebih hafal tokoh-tokoh dalam suatu permainan game online. Selain itu, dalam video tantangan melanjutkan lirik lagu nasional dan lagu perjuangan, mereka terlihat tidak tahu atau menjawab dengan salah. Terlepas itu benar ataupun settingan, hal ini dapat menjadi gambaran bahwa pembelajaran jarak jauh membuat anak menjadi kurang mengenal identitas bangsanya. Ada juga yang belum bisa membaca dengan lancar padahal sudah kelas 2 SD.
Teori konflik memandang bahwa pendidikan bertujuan untuk memelihara ketimpangan sosial dan mempertahankan kelompok dominan. Pada kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini kedudukan kelompok masyarakat atas menjadi langgeng karena mereka memiliki faktor produksi yang memadai. Dalam kasus PJJ ini, faktor produksi yang ada ialah ponsel pintar, tablet, laptop, dan jaringan internet. Mudah bagi mereka untuk mengakses empat faktor produksi tersebut. Sedangkan bagi kelompok masyarakat miskin yang faktor produksinya minim, mereka kesulitan memiliki ponsel pintar, tablet, laptop, dan mengakses internet. Karena barang-barang tersebut berharga mahal. Maka dari itu, kita dengan mudah menjumpai kasus anak dari keluarga miskin yang putus sekolah gara-gara PJJ. Intinya, kelompok masyarakat miskin akan semakin kesulitan dan terpinggirkan akibat PJJ ini.
Daftar Pustaka
Susanto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia