Bagi anak-anak, hari pertama sekolah mungkin sesuatu yang mendebarkan, tetapi juga mungkin sesuatu yang menyenangkan. Maklum aku kini bukan anak-anak lagi. Dan jaman aku sekolah dulu juga berbeda dengan jaman anak-anak sekolah kini.
Saat pertama aku sekolah, waktu itu di kampung, aku dimasukkan sekolah "negeri". Rasanya bangga, karena ada juga sekolah "inpres", karena merasa masuk sekolah yang 'lebih'. Entah dimana lebihnya, ga tahu, mungkin karena lebih negeri, itu saja.
Masuk sekolah waktu itu bukanlah kewajiban, tapi kita merasa malu kalau tidak sekolah. Kita juga bersekolah dengan bertelanjang kaki, "nyeker", bahasa jawanya, berbekal satu buku tulis dan sebuah pensil. Rasanya bahagia sekali.
Lebih beruntung lagi, pas didepan sekolah adalah lapangan sepak bola. Surga bagi kita untuk berlari-lari dan bermain-main. Dan lucunya, kulit kaki kita yang tebal karena tidak bersepatu pun terdapat danau-danau kecil karena dimakan oleh binatang yang sembunyi dibalik rumput itu. Kenangan yang indah.
Beda dulu, beda sekarang. Mengantar anak sekolah seperti masuk ke pasar malam. Ramai, desak-desakan, dan anak pun terlihat bingung harus kemana dimana ia berada. Saat berbaris "lencang depaaaaan grak !" saja sudah tidak ada, bahkan dua sekolah pun harus berbagi halamannya. Bejubel ! "Manusia bisa banyak begini ya ??,... kaya semut !", gumamku dalam hati. Bagaimana 10, 20 tahun kedepan ya? Masih cukupkah halaman sekolah kita? "Apa perlu program satu anak cukup ya ?", pikiranku tak mau berhenti.
...
Banyak warna dan rasa suasana sekolah di negeriku.
Sebagai pegawai yang nurut apa kata perusahaan, dipindah tugaskan adalah hal yang biasa. Akhirnya, anak istri pun turut seperti "sepur" ikut "endas"nya. Berpindah-pindah sekolah adalah langganan bagi anak-anakku jadinya.
Sekolah di manokwari.
Pengalaman berkesan mengantar anak sekolah, adalah ketika bersekolah di papua. Kami sempat berdomisili di Manokwari. Disana berbagai macam suku ada. Mulai dari suku lokal, jawa, sulawesi, ambon batak, bahkan sunda. Pengalaman mengantar sekolah terasa biasa saja, tetapi yang berkesan disana adalah beberapa kali sekolah harus diliburkan karena suasana yang tidak kondusif.
Sebagai pendatang baru pun kadang aku 'telmi'. Suatu pagi, aku bersepeda motor bersama istri, ingin mengisi bensin dan pergi ke pasar. Heran, suasana siang itu lengang sekali, orang-orang, terutama orang lokal pun memandangi kami. Setelah sampai di rumah, seorang teman didaerah lainpun menelepon, menanyakan kabar kami dan bertanya gimana demo disana. "O gitu ya? Pantas, kok ada yang janggal", saya baru paham akan kejadian tadi. Baru ingat, waktu itu sudah dekat dengan 1 Desember, kami tidak mendengar berita karena belum berlangganan televisi.