Lihat ke Halaman Asli

Rusj

Semoga bermanfaat.

Cegah Sumbangan "Sukarela" yang Memaksa

Diperbarui: 3 Juni 2016   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mari cegah dan berantas praktek pungutan "sumbangan sukarela" yang memaksa.

Kita semua sudah maklum, bahwa yang namanya sekolah pasti membutuhkan dana untuk sarana dan prasarana, dan berbagai kegiatan penunjang opeasional lainnya. Yang namanya dana, pasti selalu kurang, tidak pernah lebih. Alasan inilah yang selalu dpakai sekolah untuk mencari dana, terutama kepada orang tua siswa baru. Mulai dengan cara santun, cara halus, sampai cara 'memaksa', karena kita sudah tahu bahwa sudah tidak diperbolehkan memungut biaya kepada orang tua siswa.

Sebenarnya gimana sih aturan meminta sumbangan? Utamanya bagi sekolah negeri. Untuk sekolah swasta, sejauh yang penulis tahu, mereka harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri, sehingga sampai taraf tertentu terjadi lah bargaining antara sekolah dan orangtua siswa. Tapi bagaimana halnya dengan sekolah negeri?

Bisa dimaklumi juga, bahwa seorang kepala sekolah juga adalah pegawai yang butuh dan perlu meniti karir, mengejar target pribadi atau kepentingan lainnya. Sehingga dengan berbagai cara, mereka berusaha agar mendapatkan predikat dan prestasi melalui sekolahnya. Tekanan target prestasi, dana yang terbatas, image pribadi dan sekolah, memaksa kepala sekolah berfikir kreatif dalam mencapai itu semua.

Hal yang wajar jika sekolah, dalam hal ini kepala sekolah berusaha mencari dana agar sekolahnya maju dan berprestasi, yang pada akhirnya mendongkrak karirnya. Akan tetapi bagaimana halnya, jika ia menggunakan otoritasnya kepada orang tua untuk memaksa secara halus untuk memenuhi ambisinya agar terlihat berprestasi?

Posisi tawar orang tua yang lemah.

Kita mahfum, bahwa mendapatkan sekolah yang bagus, saat ini semakin sulit. Banyak faktor yang menjadikan posisi orang tua, lemah dihadapan otoritas sekolah. Persaingan karena supply and demand yang tak sebanding, jarak dari rumah, kualitas sekolah, makin memojokkan posisi tawar orang tua didepan institusi sekolah. Posisi "butuh" inilah, yang sering dengan cerdik dijadikan sebagai komoditi bagi sekolah untuk mencari dana, dengan 'memaksakan' kehendaknya dalam menentukan besarnya "sumbangan", jika anaknya ingin diterima.

Penggunaan otoritas juga dilakukan dengan menggunakan momen-momen seperti ujian, kelulusan, kenaikan kelas, dengan menahan siswa untuk mendapatkan haknya jika tidak mengikuti "aturan" sekolah tersebut, yang ujung-ujungnya dana.

Dengan posisi lemah inilah, orang tua suka tak suka, harus dengan sukarela, menyetujui apa yang disodorkan oleh sekolah untuk memenuhi ambisinya. Mereka biasanya bungkam, karena tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.

Layaknya marketer ulung.

Agaknya ada saja kepala sekolah yang cukup piawai dalam melakukan praktek kibul-mengibul seperti ini. Layaknya seorang marketer ulung, dengan memanfaatkan presentasi yang menarik, kebutuhan yang mendesak, waktu yang terbatas, mimpi yang indah, dengan kata kunci, semua demi sekolah. Mereka lalu membuat "closing" begitu indah seolah salesman super, dengan memanfaatkan momen penjualan yang tepat, bahkan seorang ibu tidak sempat bicara dengan suami. Seorang ibu yang lain cukup bingung dan takut, bagaimana dengan dapur bulanannya nanti. Seorang ibu yang 'tajir' dengan indahnya 'membeli' penjualan itu dengan bangga, yang membuat ciut nyali mayoritas yang hidup serba terbatas. Sebuah pertunjukan penjualan yang berlangsung cepat dan menegangkan, dimana orang harus mengambil keputusan berbau tekanan, dalam hitungan menit. Tak peduli dengan keputusan yang akan mempengaruhi kualitas hidup orang, atau kondisi orang saat itu, yang penting 'penjualan sukses'. Wow !

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline