Lihat ke Halaman Asli

Kutukan Tanah Ulayat dan Eksistensi Datuak

Diperbarui: 12 Juni 2017   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kutukan Tanah Ulayat dan Eksistensi Datuak

Keberadaan tanah ulayat  yang terkait dengan berbelitnya proses pembebasan lahan dan perbenturan dengan masyarakat pemegang ulayat ketika negosiasi pemakaian lahan untuk investasi, termasuk salah faktor yang menghambat investasi di Sumbar. Hal itu terungkap dalam dialog "Strategi Percepatan Investasi di Sumbar" (Padek, 8 April 2016). Pertanyaannya, betulkah keberadaan tanah ulayat menjadi salah satu faktor penghambat?

Tanah ulayat adalah tanah milik kaum (komunal). Tanah tersebut bisa berbentuk hutan, parak, ataupun sawah. Nenek moyang orang Minang (baca: Datuak) dulunya manaruko tanah ulayat untuk diwariskan kepada anak cucunya. Memang, tidak ada tertulis ataupun pesan lisan sampai turunan ke berapa tanah ulayat itu tetap utuh, bermanfaat, dan tetap dimanfaatkan.

Tanah ulayat suatu kaum diakui keberadaan dan kepemilikannya oleh kaum yang lain, walaupun tidak ada sertifikat. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda pun mengakui keberadaan tanah ulayat.

Tanah ulayat tidak bisa dipindahtangankan baik dalam bentuk pemindahan kepemilikan maupun kepemakaian (pengelolaan). Kecuali ada kehendak kaum. Biasanya diberikan kepada orang miskin atau yang berjasa dan pernah membantu kehidupan sehari-hari. Orang itu diberi tanah seperumahan dan atau ladang sepetak (selama dia hidup). Pada sisi lain, untuk pengelolaan, dipakai sistem perseduaan  atau pertigaan.

Datuak, dulunya (bisa saja 100 atau 200 tahun yang lalu) merupakan orang cerdik, pekerja keras, dan bagak (disegani). Oleh sebab itu Datuak mampu manaruko dalam jumlah yang sangat luas. Dengan bijaksana, Datuak  meninggalkan amanah. Isi amanah adalah tanah ulayat tidak dapat dipindahtangankan kepemilikannya. Bahkan hanya untuk sekedar digadaikan (pinjam pakai), Datuak mengeluarkan syarat yang sangat berat. Syarat itu adalah tanah ulayat dapat digadaikan bila:

  • Rumah gadang ketirisan. Tiris adalah bocor halusnya atap rumah gadang. Atap rumah gadang biasanya terbuat dari ijuak yang disusun dengan ketebalan yang tahan berpuluh-puluh tahun. Tidak mungkin atap ijuak rumah gadang mudah mengalami ketirisan. Kalaupun terjadi maka tidak mungkin untuk menambalnya perlu menggadaikan tanah ulayat. Anak kemenakan dengan mudah menambal atap yang hanya bocor halus saja.
  • Mayat terbujur di tengah rumah. Artinya mayat terlantar dan tidak ada yang mau memakamkannya. Sebagai orang Islam, tidak ada kamusnya untuk tidak menguburkan anggota keluarga atau tetangga yang meninggal dunia. Jadi tidak mungkin menguburkan mayat dibutuhkan dana dalam jumlah banyak apalagi sampai menggadaikan tanah ulyat.
  • Gadis gadang yang tidak bersuami. Memang ada kebiasaan sebagian masyarakat Minang untuk menyediakan uang jemputan untuk mendapatkan suami anak gadisnya. Akan tetapi, tidak pernah kita mendengar bahwa untuk mendapatkan calon menantu digadaikan tanah ulayat. Justru yang terjadi adalah kolaborasai anggota masyarakat (adik baradik, mamak, dan anggota keluarga lainnya) yang mengusahakan dana untuk uang jemputan (kalau memang diperlukan). Kolaborasi ini justru semakin meningkatkan silaturrahim anggota keluarga. Syarat ini syarat yang tidak dimungkinkan untuk menggadaikan tanah ulayat. 

Jadi, amanah Datuak jelas, tanah ulayat tidak boleh dipindahtangankan kepengelolaannya (digadaikan) apalagi kepemilikannya (diperjualbelikan). Bila kita melanggar amanah ini, tunggulah laknat yang datang. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat kesengsaraan orang yang menjual tanah ulayatnya. Tanah ulayatnya dijual kepada pengembang atau investor. Investor mengolahnya menjadi komplek perumahan atau hotel untuk pariwisata dan mendapatkan keuntungan berlipat ganda.

***

Amanat Datuak perlu kita pegang teguh. Datuak tidak berkeinginan tanah ulayat menjadi laknat bagi anak kemenakannya. Sebagai cucu Datuak, kita perlu berpikir cerdas dan bertindak bijaksana. Mari kita simak perbuatan kemenakan Datuak berikut ini.

Dua puluh tahun yang lalu, sebidang tanah di pinggir jalan dengan ukuran 18 x 20 meter ditawar oleh investor dengan harga Rp. 1 juta per meter. Artinya sang pemilik akan mendapatkan hasil penjualan sebanyak 18 x 20 x Rp. 1 juta = Rp. 360 juta. Pada waktu itu harga tanah paling tinggi hanya Rp. 400 ribu. Dengan harga tersebut, hasil penjualan hanya sebanyak 18 x 20 m x Rp. 400 ribu = Rp. 144 juta.

Akan tetapi pemilik tidak mau menjual. Banyak orang mengatakan pemilik seorang yang bodoh. Tak akan ada orang yang mau membeli tanah lebih dari Rp. 360 juta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline