Yogyakarta- Wajah yang mulai tampak jelas keriput, membuat Budiyono (54) sedikit sipit ketika tersenyum ramah. Kulit hitam legam terpapar matahari tidak membuatnya terlihat lemah sebab pekerjaannya yang kini menjadi tukang bangunan. Kedatanganku disambut ramah oleh beliau di rumah yang begitu sederhana namun begitu terasa kekeluargaannya. Semangat yang membara masih jelas terlihat dari bagaimana Pak Budi bercerita mengenai patehan di Desa Ngasem.
15 tahun waktu yang tidak sebentar untuk beliau mengetahui bagaimana racikan teh yang sedap untuk dihidangkan kepada tamu. Di kala upah yang ia terima masih 3.500 rupiah hingga mampu menguliahkan dua anak perempuan mereka. Juru teh adalah modal hidup Budiyono. Keringat bercucuran ketika awal dia bekerja di sebuah catering untuk RS Panembahan Senopati hingga kini sudah berganti profesi sebagai tukang bangunan. Kerja kerasnya untuk bisa sampai pada titik ini, menjadi kepercayaan masyarakat Desa Ngasem sebagai juru patehan di acara-acara besar Desa Ngasem.
"Nggeh boten namung mantenan, kula biasane nggeh dados patehan teng layatan," tutur Pak Budi.
Sosok ramah Budiyono menungkapkan rasa bungah bisa menjadi kepercayaan masyarakat Desa Ngasem menjadi juru patehan. Gigi yang nampak lebih putih ketika tersenyum karena kulitnya yang hitam menggambarkan betapa beliau senang bisa menjadi bagian acara yang dimiliki warga Desa Ngasem walaupun di balik panggung. Rasa syukur terpancar ketika Budiyono tidak pernah mematok upah yang harus diberikan kepadanya sebagai juru patehan.
" Biasane niku nggih 50.000 dingge sedino, semisal kula sampun ditembusi dingge 4 dinten nggih Alhamdulillah saged nompo upah 200.000 rupiah." Ungkap beliau dengan semangat.
Budiyono dengan kerendahan hatinya juga memberitahukan racikan yang biasanya membuat teh menjadi nikmat adalah mengoplos teh Poci dengan teh Tang, atau teh Pendowo dengan teh Poci. Teknik dalam memasaknya pun juga dituturkan secara mendalam. Ketika air telah mendidih, teh harus segera dimasukkan pada ceret atau yang kita kenal teko yang biasa disebut dekokan. Dekokan merupakan seduhan teh yang sangat kental yang akan menjadi kunci teh nanti menjadi teh yang nasgitel atau panas legi kentel. Setelah itu masukkan gula pada wadah teh. Pak Budi menjelaskan bahwa 1 kg gula bisa membuat 50 gelas teh. Gula yang dapat digunakan pun juga ada jenisnya. Apabila kita menggunakan gula kuning maka takaran yang digunakan hanya 2,5 kg, sedangkan gula putih biasanya 3 kg untuk acara - acara. Semua takaran juga diperhitungkan dengan seberapa banyak tamu yang datang. Setelah gula dimasukkan ke dalam wadah teh maka dekokan baru bisa ditambahkan, dan tahap yang terakhir adalam memberikan air putih dengan suhu normal agar teh tidak terlalu panas dan tetap bisa dinikmati para tamu. Terlihat beliau malah senang dan tidak pelit membagikan resep racikan teh tersebut. Budiyono mengatakan jika seorang penikmat teh akan mengetahui bagaimana bedanya teh yang nikmat dengan tidak dioplos atau dioplos.
Di umur yang semakin termakan waktu, dan tenaga yang kian melemah tidak menyurutkan Pak Budi sebagai juru patehan yang harus bekerja sendirian. Keringat yang menetes, setiap bekerja menyajikan ratusan gelas teh untuk para tamu, serta rasa panas yang menyengat kulit keriputnya karena harus di depan tungku kayu bakar menunggu agar teh mendapatkan cita rasa yang pas. Tak hanya menyajikan teh yang nikmat, dengan senang hati Pak Budi juga mencuci gelas-gelas serta perabotan seperti dandang, baskom, teko, saringan, itu semuanya sendiri.
Adzan Subuh yang berkumandang, saat itu juga Budiyono harus sudah ada di tempat hajatan pernikahan. Mata yang masih sayup dipaksa untuk mulai mencuci gelas-gelas dan perabotan yang debunya menusuk mata karena hanya digunakan ketika ada hajatan saja. Dengan telaten Pak Budi membuat api untuk gegenen atau untuk memasak air agar teh yang disajikan " nasgitel " panas, legi, kentel. Cita rasa yang disukai banyak masyarakat Jogja, apa lagi di desa-desa. Pengalaman berpuluh - puluh tahun dalam menjadi juru patehan membuat Pak Budi mudah dalam mengira seberapa banyak teh yang harus dibuat untuk tamu yang akan datang. Berbeda lagi ketika beliau harus menjadi juru patehan untuk acara orang meninggal, yang harus terus di tempat patehan hingga jam 11 malam sampai acara tahlilan selesai atau yang merupakan rangkaian doa bersama setelah orang tersebut di kubur. Tak kenal lelah Budiyono tetap mau menjadi juru patehan.
Rasa ikhlas Budiyono dibalik merasakan suka duka menjadi juru patehan begitu tampak. Badan Pak Budi yang kini semakin kurus karena usia tapi semangat beliau untuk terus mempertahankan budaya patehan yang sudah ada sejak dahulu dipakai di keluarga Keraton Yogyakarta patut diacungi jempol. Kaum muda kini juga harus semangat dalam melestraikan budaya Indonesia yang sudah mulai hilang di masa yang serba modern ini.