Mita bersandar pada tiang besi di sisi pintu bus sembari membuka tas dan mengeluarkan sebuah novel yang baru saja didapatkan dari toko buku bekas langganannya di bilangan Jakarta Pusat. Ia membolak balik buku yang tidak terlalu tebal itu, mengecek kondisinya. Secara keseluruhan masih cukup rapi meskipun dari sisi samping dapat terlihat lembaran-lembaran kertas di dalamnya sudah usang kekuningan.
Gambar sampulnya bagus. Sebuah garis lengkung besar yang terdiri dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu membentang lebar di tengah halaman. Di ujung akhir lengkungan warna warni itu terdapat siluet sesosok bangunan istana nan megah. Mirip seperti tempat tinggal tokoh putri raja dalam kisah-kisah dongeng. Ilustrasi yang memberikan penggambaran tersurat dari kalimat yang tertera di bagian atas sampul. Negeri Di Ujung Pelangi, gumam Mita sembari meraba permukaan huruf-huruf yang dicetak dengan tinta perak berkerlip-kerlip itu. Ia membuka sampul depan dan mulai membaca.
Jakarta, Mei 1997 - Cetakan Pertama
Jalanan masih saja macet dan Mita baru sampai di halaman enam ketika sebuah suara bertanya dari arah belakangnya, "Bagus nggak, ceritanya ?"
Mita menoleh. Seorang cowok berwajah lumayan cakep sedang ikut membaca. Entah sejak kapan.
"Emm ... sepertinya sih bagus. Aku juga baru mulai baca," jawab Mita ramah.
"Aku pernah punya buku ini. Tapi belum sempat kubaca. Keburu disingkirkan oleh ibuku."
"Wah, kenapa ? Ibu kamu nggak suka buku ?"
"Bukan. Soalnya beliau pikir aku tidak akan membaca buku-buku itu lagi."
"Oh begitu," Mita mengangguk sambil memperhatikan penampilan cowok itu. Rapi, sedikit old school, tapi keren.
"Oh iya, aku Hardi," ia mengulurkan tangan, "Nama kamu siapa ?"