Lihat ke Halaman Asli

Politik Dinasti Menuju Meritokrasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Indonesia saat ini masih mencari formulasi politik yang tepat untuk dijadikan sistem politik yang kuat dan mampu untuk menjadi sistem yang bisa memberikan peluang kepada siapapun untuk berkontribusi secara aktif dalam kancah politik indonesia. Sejatinya politik merupakan ruang untuk individu menyalurkan gagasan dan ide serta perwujudan dari ide tersebut ke dalam perilaku politik yang beretika dan mampu menjadi teladan serta menghasilkan sebuah kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sistem politik yang dibangun tentu harus sebuah sistem seperti yang dikatakan di atas bahwa sistem tersebut mengandung keadilan bagi siapapun untuk berpartisipasi dan mempunyai peluang yang sama.

Di Indonesia pada era orde baru, sistem politik lebih cenderung bersifat oligarki yaitu negara dikuasai oleh beberapa orang saja dan bertumpu hanya di pusat saja. Namun saat ini sistem politik indonesia lebih bersifat dinasti. Kita harus memahami  terlebih dahulu bahwa yang dimaksud sistem politik dalam karya ilmiah ini bukanlah sebuah sistem yang tertulis dan termaktub dalam undang-undang, namun lebih pada praktek politik yang dilakukan oleh kalangan politisi dan golongannya. Praktek politik dinasti yang saat ini telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia yang dipelopori tentunya oleh partai politik sebagai lembaga yang sah dalam menjalankan praktek politik.

Harus kita akui bahwa saat ini praktek politik dinasti sering kita lihat dalam perguliran demokrasi indonesia dimana sistem partai lebih mengakomodir pihak-pihak tertentu yang dianggap dapat memberikan keuntungan yang lebih bagi partai atau berdasarkan garis keturunan saja, terlepas apakah individu tersebut mempunyai kapasitas lebih atau tidak.  Hal ini tidak terlepas dari interest group, Bahwa dalam politik terdapat grup kepentingan yang mewakili golongannya misalkan kelompok kepentingan ekonomi. Dari kelompok kepentingan itu, disadari atau tidak kelompok ekonomi (pengusaha) menjadi salah satu pendorong terjadinya dinasti politik untuk menjaga asset mereka.

Banyak pihak yang menengarai bahwa proses politik dinasti akan mengurangi makna dari demokrasi yang dianut di Indonesia saat ini. Banyak sekali anak bangsa yang berpotensi untuk berkembang dan berkontribusi dalam memberikan perubahan ke arah positif melalui jalan politik yang harus rela menelan ludah karena tidak dapat mencapai apa yang mereka cita-citakan. Namun peluang itu masih selalu ada dan masih bisa berproses dari politik dinasti menuju politik yang lebih terbuka, kredibel, dan demokratis.

Tentunya sudah banyak dibicarakan lawan dari politik dinasti yaitu proses politik meritokrasi. Dalam wikipedia.com meritokrasi Berasal dari katameritatau yang berarti manfaat.meritokrasisebenarnya menunjuk kepada bentuksistem politikyang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidakadilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin.

Lebih jauh Dalam kaitan ini Lawson dan Garrod (2002) mengemukakan bahwa meritokrasi adalah:

“A social system in which reward and positions are allocated justly on the basis of merit, rather than ascriptive factors such as genders, ethnic group or wealth. It is often claimed that modern industrial societies are more meritocratic than in the past, and that the education systems in such societies are also meritocratic. However, there is much evidence to show that ascriptive factors such as those listed above exert a considerable influence on an individual’s life chances”.

Dari pernyataan diatas bisa kita serap bahwa meritokrasi merupakan Sebuah sistem sosial di mana penghargaan dan posisi dialokasikan adil pada berdasarkan kinerja, bukan faktor askriptif seperti jenis kelamin, kelompok etnis atau kekayaan. Dan jauh lebih dari pada itu sudah cukup banyak bukti yang semakin mempersepsikan bahwa meritokrasi adalah sistem politik yang bagus. Pada dasarnya dapat dilihat bahwa modernisasi di banyak negara tidak mungkin dapat terwujud tanpa penggunaan azas-azas meritokrasi yang kuat (Young, 1958; Brooks, 2002).

Kita harus sepakat bahwa sistem politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis akan memberikan ruang-ruang kepada publik untuk lebih giat dalam berpartisipasi membangun demokrasi indonesia ke arah yang lebih dewasa dan substansial. Persoalannya hari ini adalah bagaimana membangun transisi proses politik dinasti menuju proses politik meritokrasi ditengah kondisi proses politik dinasti dimana partai sampai proses pilkada dijalankan dengan praktek-praktek tersebut yang membuat produk demokrasi menjadi tidak sehat maka sudah saatnya membangun pondasi demokratisasi dengan jalan meritokrasi. Proses transisi bisa dimulai melalui Undang-undang yang berkaitan dengan kepartaian dan pemilu.

Demokratis namun tidak Demokratis

Harus kita ketahui terlebih dahulu bahwa demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya adalah terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokratis. Demokratisasi melalui beberapa tahapan, yaitu (a)Tahapan pertama adalah pergantian dari penguasa nondemokratis   kepenguasa demokrasi; (b) Tahapan kedua adalah pembentukan lembaga-lembaga dan tertip politik demokrasi; (c) Tahapan ketiga adalah konsolidasi demokrasi; (d) Tahapan keempat adalah praktik demokrasi sebagai budaya politik bernegara.

Saat ini kita tengah berada pada fase konsolidasi demokrasi meskipun sudah sangat lama konsolidasi itu telah berlangsung namun elemen-elemen yang ada pada demokrasi kita masih sulit untuk dipersatukan. Namun demikian, tetap saja proses konsolidasi berlangsung dengan dialektika yang cukup banyak mengandung friksi tapi mengalami perbaikan dari hari ke hari. Dalam tahap konsolidasi demokrasi timbul sebuah gagasan yang harus dijalankan sebagai suatu syarat terciptanya demokrasi yang substansial serta konstitusional yaitu politik meritisisme.

Praktek partai politik di Indonesia dalam menjalankan politik meritokrasi masih memerlukan wajtu yang panjang, karena dalam prakteknya partai-partai yang mengaku demokratis dan mengedepankan kaidah-kaidah meritokrasi ternyata tidak demikian, dan para petinggi partai pun cenderung menyetujui dan melanggengkan praktek politik dinasti. Mungkin terasa aneh apabila banyak partai yang mengaku bahkan melabelkan partai mereka yang identik dengan demokratis, sebut saja Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sejatinya bahwa demokrasi sangat berkaitan dengan meritokrasi agar demokrasi bisa berjalan dengan sehat dan tidak mencederai hakikat dari demokrasi itu dimana setiap individu mempunyai hak yang sama dalam bidang politik.

Mengapa diatas dikatakan partai demokrat dan PDIP karena dalam prakteknya mereka tidak demokratis. Kita bisa lihat ketika tahun 2009 dalam pencalonan presiden RI hampir semua petinggi PDIP mengatakan keputusan mengenai siapa yang akan menjadi presiden ada di Mega wati. Ini menunjukan partai yang berlabel demokrasi tersebut belum menjalankan seutuhnya hakikat demokrasi, malah melanggengkan praktek politik dinasti. Begitu juga dengan partai demokrat, kita bisa lihat saat ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memegang kendali partai dengan merangkap jabatan, padahal kita yakin masih banyak anak bangsa ini yang bergabung dengan demokrat mempunyai kemampuan untuk menjadi pimpinan, kemudian menyiapkan pemimpin dari keluarga dengan menempatkan Edi baskoro anak kedua SBY sebagai sekretaris jenderal partai demokrat dan saat ini sedang gencar skenario konvensi calon presiden dari demokrat, namun sudah tercium gelagat bahwa yang akan menjadi calon presiden dari partai demokrat adalah Pramono Edhie sebagai adik ipar SBY (adik dari Ani Yudhoyono). Ini menunjukan bahwa sangat kentara sekali praktek dinasti di tubuh partai politik di indonesia.

Bentuk dari dinasti politik bukan hanya karena kekeluargaan atau orang tersebut sebagai pendiri partai namun juga bisa karena seseorang tersebut mempunyai kuasa harta. Partai politik yang menamakan diri Golongan Karya (GOLKAR) pada saat dipimpin oleh Akbar tanjung terlihat berbeda dan dinamis dibanding dengan partai GOLKAR saat ini yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Ketika dipimpin oleh Akbar Tanjung, GOLKAR adalah partai pertama yang menyelenggarakan konvensi partai untuk mencari calon presiden partai golkar, terlepas apakah itu permainan semata atau memang benar-benar menjalankan sistem demokrasi yang fundamental, tapi pointnya pentingnya adalah adanya mekanisme demokratis yang dijalankan. Berbeda ketika dipimpin oleh Aburizal Bakrie, dimana dalam rapat nasional calon presiden pada akhir 2012 dipilih secara aklamasi dan keluar nama tunggal yaitu Aburizal Bakrie itu sendiri. Ini merupakan degradasi kepartaian dalam tubuh partai golkar yang mengusung demokrasi.

Ternyata praktek dinasti dalam partai politik tidak hanya terjadi di tingkat pusat dan dalam prosesi penjaringan calon presiden dan estafet kepemimpinan, namun juga terjadi di daerah dimana pemilihan kepala daerah dan pemilihan calon anggota legislatif tergantung pada kedekatan, lobi, dan materi. Tidak jarang kita dengar bahwa calon kepala daerah diajukan serta ditentukan karena kedekatan, lobi, dan uang. Sedikitnya ketiga hal tersebut yang bisa mengalahkan kader yang berpotensial sekalipun yang akan maju. Jika kader partai tidak mempunyai uang dan kedekatan dengan pimpinan partai maka sulit untuk bisa menjadi kepala daerah. Lalu sudah menjadi rahasia umum jika calon kepala daerah diminta sejumlah uang yang jumlahnya sangat fantastis yaitu puluhan milyar rupiah. Selain dari itu, jika calon anggota legislatif ingin mendapatkan nomor urut yang bagus ( 1, 2, 3) harus bisa berkontribusi ke partai. Hal tersebut banyak dilakukan oleh ketua partai tingkat daerah yang mempunyai kekuasaan dan masih melanggengkan praktek-praktek politik dinasti.

Hal diatas bisa kita sebut sebagai pembunuhan karakter terhadap politik karena dari proses seperti itulah maka akan menghasilkan sesuatu yang buruk. Bagaimana hal itu bisa menghasilkan hal buruk kita bisa melihat dari berbagai aspek yaitu, (1) Integritas, ketika proses perekrutan memakai uang maka hal pertama yang terpikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, itu memunculkan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai tanda kehancuran integritas seseorang; (2) Kapabilitas, dengan sistem dinasti sangat dimungkinkan sekali orang yang tidak mempunyai kemampuan dalam berpolitik, tidak cakap hukum, tidak mengetahui perundang-undangan dalam berbagai produk hukum, tidak mempunyai rasa kemanusiaan, dan segenap perangai buruk lainnya bisa menjadi pengambil kebijakan atau penyalur aspirasi. Bisa kita bayangkan bagaimana orang yang tidak mempunyai kapabilitas tapi masuk dalam lingkungan pengambil kebijakan dan atau penyalur aspirasi rakyat; (3) Moralitas, karena direkrut melalui sistem yang tidak sehat maka cenderung akan melakukan hal yang tidak sehat pula, misalkan menjalankan proses persiangan secara tidak sehat bahkan cenderung menghalalkan segala cara agar menang dalam persaingan politik itu, maka orang tersebut telah kehilangan moralitasnya. Maka tidak jarang, banyak orang menyalahkan politik karena praktek-praktek yang dianggap kotor tersebut.

Kondisi demikian, memunculkan antipati masyarakat dalam berpolitik yang bisa kita lihat dari tingginya angka golput (golongan putih/tidak mencoblos) dari tahun ke tahun dan dari pemilihan ke pemilihan.

Referensi :

1. Brooks, David. “The Merit of Meritocracy”. The Atlantic Monthly.2002

2. Lawson, D & J. Garrod. The Complete A-Z Sociology Handbook. Penguin.

Boston. 2002

3. Yuwanto,Ph.D. Materi Analisis politik Indonesia. Magister Ilmu Politik

UNDIP.2013

Yuwanto, Ph.D, Disampaikan dalam kuliah Analisis politik indonesia pada tanggal 26 Oktober 2013 di MIP UNDIP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline