Lihat ke Halaman Asli

Rizal De Loesie

Seorang Lelaki Penyuka Senja

Mengobati Luka Batin

Diperbarui: 26 Agustus 2023   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rizal De Loesie

Sudah beberapa kali aku berniat untuk tidak lagi menulis cerpen atau menggurat kata-kata usang dan lusuh menjadi rangkaian kata tanpa makna yang kuberi nama puisi uji-coba. Setiap keinginan kuat berprinsip tidak menulis lagi, tetap ada halangannya. 

Adakalanya aku lupa, tahukah kau bagaimana bisa aku menghapus setiap jejak yang telah berlalu, sementara jejak itu sudah jauh di belakang disapu ombak. Saban waktu aku benar-benar terpaku di depan laptop untuk tidak mengetik sepatah kata pun yang berkaitan dengan sastra. Sambil menghirup kopi hitam, seiring jemari malam yang menusuk tajam, suara nyanyian dari kejauhan satwa-satwa malam seakan membunuhku. Mengancamku setidaknya aku harus membuat satu kalimat saja.

Begitu menyiksa, karena aku harus mencoba untuk menggurat kata, sementara berjuta kalimat-kalimat menyesak rongga kepala, ke dada dan memacu jemariku menghentakkan kata-demi kata pada peluru masa lalu. Peluru yang panas terlepas, peluru yang pernah nyasar juga kemana-mana. Seperti persimpangan, antara ingin menulis dan tidak ingin lagi membalik kumpulan diksi untuk mengganti kata-kata yang teramat logika. Semua kata harus disamarkan kepulan asap kopi dan huruf basah karena air mata.

Ini malam ke Sembilan belas aku tidak menulis dan membayangkan deretan kata yang tertidur, berbaring memandang cakrawala dari teras belakang rumah yang terbuka. Aroma kembang, aroma daun dan aroma kopiku menjadi bongkahan pragraf yang terlelap pulas.

Seketika aku ingat, pernah salah satu di profile bukuku yang terbit ku tulis " Menulis adalah salah satu cara berdamai dengan hati" hah, berarti saat ini aku sedang mengalami fase perang dingin dengan hatiku sendiri? Benarkah begitu? Apakah salah satu cara berdamai dengan hati harus menulis? Aku berpikir, memang-kah hatiku sedang berkecamuk dengan senjata-senjata yang bisa melukai, atau bisa saja saat ini sedang bergelora bagai laut dihempas musim. Terus aku berpikir hubungan menulis dengan mengobati luka bathin. 

Tetapi dari sisi lain setelah kucecap rasa kopi barulah aku menyadari rahasia hatiku itu. Rasa pahit dan manis itu tergantung dari rasa, rasa pikiran dan energi kita menanggapi. Memang, luka batin sulit disembuhkan oleh diagnosa dokter, tetapi luka batin diselesaikan dengan hati sendiri.

Kembali lagi dengan prinsip kemaren yang tidak akan menulis. Adalah dua mata pisau yang berseberangan dengan hati dan jiwaku. Dengan menulis mungkin beberapa meneteskan airmata dengan rangkaian cerita yang sangat sedih seakan itu benar terjadi. Sebagian ada yang teramat kesal karena telah menghabiskan waktunya dengan kata dan kalimat yang tiada bermakna. Sebagian juga mungkin marah dan tersinggung karena jalan ceritanya adalah jalan hidupnya yang dimunculkan dalam tulisan.

Saat ini kutatap wallpaper laptop ini yang sebentar lagi pasti redup, seiring ujung malam dengan gerimis tipis yang jatuh dalam pangkuan rinduku. Tetapi tahukah kau yang sebenarnya akan kutulis itu? Bukan lagi novel atau cerpen yang bisa di baca siapa saja. Tetapi akan kutulis semuanya dalam rahasia tanpa untaian kata dan aturan kalimat dan pragraf. Percayalah setelah pagi besok jika matahari masih ada berarti telah selesai satu buku tentangmu pada senyumku esok pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline