Rizal De Loesie
Telah berkali-kali kubalut luka nganga itu agar tak berulat dan daun-daun tumbuh di sana. Tetapi tukak tetap membengkak menyimpan asin kehidupan. Bukankah manis asin kehidupan yang kau reguk dicatatkan dalam buku memori, dan kau berlarian berpacu dengan bayangan. Engkau persalahkan letak matahari, sementara udara kian anyir menyisir segala lendir yang disembunyikan waktu.
Kuciumi pangkal lengan ditengah kerontang dan lembab, mencari tetes kesalahan dan kilaf sepanjang bayang, banyak yang membesarkan angan. Tahukah kau hai gulita yang bergulir ditengah badai tidak akan menjadikan lautan tawar, tidak merubah gubahan syair-syair. Karena syair adalah curahan takdir dan di dalamnya disulut api doa yang tak reda-reda.
....... Aku pernah terjatuh di leher jenjangmu, bertapa di gunung-gunung dan lembah yang mengisahkan segala resah. Tetapi agar kau tahu, pertapaan tidak membuatku mampu membaca rasi bintang dan masa datang. Aku manusia biasa yang lahir dari rintihan kata, menjadi kalimat-kalimat tanpa spasi. Tanpa kita sadari menyalami tepi jurang, sedangkan angin berkumandang kian lantang.
Bandung, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H