Pada hening malam masih rapi kusembunyikan kebimbangan pada jemari-jemari yang menarikan syair tentang kata hati yang tak pernah sedetikpun mengenal rasa benci kepadamu.
Aku tahu, jendela dan pintu itu tak lagi leluasa dengan desiran rindu, karena rindu telah berpusara pada ujung kalimat tamat. Aku menjamah kerapuhan pada belulang kata dan terus menggamit berkas cahaya agar redup ini tak semenjana meleburkan kedukaan demi kedukaan.
Malam menjalari dingin keubun syahdu kepiluan, karena senja tak pernah lagi melahirkan swastamita dengan rajutan manja kata-kata. Aku telah terbiasa menyulam-nyulam sunyi ditepian mimpi.
Menjadikannya suar-suar tempat kugayutkan segala papar rasa yang tersisa, agar kau tahu hanya ketidak berdayaanlah yang menjatuhkan sauh di perahu retak ini. Haluan yang tak lagi dihiasai manik-manik cinta. Cinta telah berpulang pada hakekatnya dari sari hati yang sesungguhnya dalam penyerahan diri.
Tetapi aku yakin engkau tak pernah mengalah apalagi menyerah. Sekarang giliran takdirlah yang berkuasa menguaskan hari-hari dipelupuk mata.Dan tuhan tak pernah semena-mena menghukum, tak semena melihatkan segala yang pernah kita lakukan. AKu tahu, aku jauh dari kesempurnaan itulah sebabnya aku hanya menjadi manusia bukan malaikat
Kita nikmati samudra dalam gejolak ombak, kita nikmati gulita dengan lengan tertatih demi seberkas cahaya yang sangat berharga. Harga diri.
Ya, mari biarkan air menghilir karena aku dan kamu tak mau lagi berkuyup basah mendayung sampan yang tak pernah melaju.
Kulepaskan sari-sari cinta yang pernah ada, kurelakan jiwa yan pernah tersiksa. Kurajut tembang-tembang maaf dan melingkarkannya pada mahkota seribu maaf. Karena aku adalah ketidak sempurnaan yang sempurna.
Kota Bandung, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H