Selembar daun malam gugur dipembaringan menunggu fajar. Tergelatak dalam kepasrahan panjang. Keriput perlahan disekujur tubuhnya adalah guratan perjalanan hidup yang tak lelah dari tabah. Ranting yang telah lama enggan menaut, membiarkan tampuk mengering dan putus. Bukan salah angin atau salah nasib, tapi takdir telah melahirkan syair-syair kesendirian itu.
Sayap malam sepertiga sunyi, adalah asa menunggu bulir embun hinggap pada tubuh, menyiram kesejukan dalam kerontang jiwanya yang lengang. Berharap tetes itu hinggap bersama harap yang terus diucap. Walau dia tahu, kenangan yang berlalu adalah pijakan keperihan yang tak mungkin diubah. Hanya digubah pada syair-syair jiwa untuk sekedar belajar dan mengenang kenang.
Pun hidup itu harus dinikmati sepahit apa. Seperti se- cangkir kopi yang terbiar dingin, walau telah berjuang demi seteguk rasa. Kini hanya ampas yang mengeras di relung jiwa tak berarti apa-apa. Tapi sesungguhnya dia telah berusaha menyuguhkan semampunya.
Begitulah, dilukisnya di antara sisa-sisa awan di gulita malam, jika suatu kelak ada desir angin yang mengusir lindap, membuka tabir-tabir cahaya bulan atau matahari.
Tabir Sunyi, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H