Kamis, 21 November 2019, penulis mendapatkan informasi bahwa Ismarwan kembali ditangkap oleh anggota Densus 88. Ismarwan merupakan seorang rekan kami yang pernah terlibat kasus terorisme di Aceh pada tahun 2010.
Dalam penangkapan kali ini, Ismarwan diduga terlibat melakukan latihan militer bersama jaringan kelompok JAD di Gunung Salak, Aceh Utara.
Sebenarnya, keterlibatan Ismarwan untuk kedua kalinya di dalam kasus terorisme setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan pada tahun 2015 bukanlah suatu fenomena yang mengejutkan.
Karena ismarwan hanyalah bagian dari kontinuitas residivis kasus terorisme yang selama ini memang telah menjadi sorotan.
Sebelum ini ada nama Juhanda, yang pernah terlibat dalam kasus bom buku dan bebas pada Juli 2014, kembali melakukan aksi bom di Gereja Oikumene, Samarinda, pada tahun 2016.
Ada pula Sunakim, yang pernah terlibat kasus pelatihan militer di Aceh dan bebas pada September 2015, kembali melakukan aksi Bom Sarinah pada Desember 2016.
Lalu ada lagi Yayat Cahdiyat alias Abu Salam, yang bebas pada tahun 2014 dan kembali melakukan aksi Bom Panci di Cicendo, Bandung, pada 27 Februari 2017.
Residivisme dan Deradikalisasi
Akibat dari terus berulangnya residivis kasus terorisme, efektifitas program Deradikalisasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dipertanyakan oleh sejumlah pihak.
Pengamat terorisme, Al-Chaidar (2016), menyatakan bahwa terus berulangnya aksi terorisme di Indonesia bukan semata karena lemahnya UU Terorisme, tapi juga harus dilihat sebagai gagalnya Deradikalisasi terhadap mantan narapidana teroris.
Menurutnya, saat ini Deradikalisasi yang diusung oleh BNPT dan Lembaga Pemasyarakatan telah gagal.