Konflik antara kelompok Aswaja dan Salafi masih terus berlanjut di Aceh. Kejadian terakhir melibatkan seorang ustadz Salafi kondang, Dr. Firanda Andirja, dimana saat mengisi pengajian di mesjid Al-Fitrah Keutapang Dua, Banda Aceh, digeruduk dan dibubarkan oleh massa yang mengaku dari kelompok Aswaja. Isu yang diangkat dalam aksi pembubaran ini masih sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya, yaitu menolak masuknya faham Wahabi di bumi Serambi Mekkah.
Kita semua tentu saja menyesalkan kejadian seperti ini masih terus berulang di Aceh. Disamping mengganggu keharmonisan antar sesama umat Islam, terjadinya kerusuhan dan aksi kekerasan di dalam mesjid juga tentu saja sama sekali tidak kita inginkan. Apalagi kejadian yang melibatkan seorang ustadz kondang ini berimbas pada perdebatan yang beraroma permusuhan antara sesama umat Islam yang terus meluas dalam skala nasional.
Namun mencari siapa benar siapa salah bukanlah waktu yang tepat untuk dilakukan pada saat ini. Karena masing-masing kelompok pasti memiliki dalil pembenaran. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menemukan duduk permasalahan dan mencari solusi agar hal-hal seperti ini kedepan tidak kembali berulang.
Mengenal Wahabi
Pasca tragedi pembubaran pengajian Dr. Firanda Andirja di mesjid Al-Fitrah, dalam satu kesempatan mengajar saya bertanya kepada mahasiswa mengenai tanggapan mereka atas kejadian tersebut. Mayoritas mahasiswa mengatakan setuju, dengan alasan Wahabi merupakan aliran sesat yang harus diberantas.
Namun ketika saya bertanya kepada mereka apa itu Wahabi, tidak ada satupun mahasiswa yang bisa memberikan jawaban yang tepat. Ini merupakan sebuah ironi. Kita tidak menginginkan penolakan masyarakat Aceh terhadap kelompok Salafi atau faham Wahabi didasarkan pada doktrin kebencian dan permusuhan.
Wahabi merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengikuti faham Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang lahir pada tahun 1115 H (1703 M) dan wafat tahun 1206 H (1792 M) dalam usia 91 tahun. Beliau lahir dan besar di Najd, sebuah pedesaan gurun pasir kering yang diwarnai corak budaya Badwi, yang memiliki karakter keras dan puritan dalam beragama.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kecil sempat dikirim ke Madinah dan Basrah (Irak) untuk menimba ilmu, namun kiblat pemikirannya bersumber dari ajaran yang dikembangkan seorang tokoh Islam yang bernama Ibnu Taimiyah. Sepulangnya dari menimba ilmu, beliau memandang telah terjadi penyimpangan agama yang besar di kampung halamannya, Najd.
Menurut Hasan Ali Al-Kattani, seorang peneliti gerakan Wahabi, dalam pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, masyarakat Najd pada saat itu telah kembali ke masa jahiliyah pertama. Diantaranya seperti pengkultusan terhadap kuburan dan pohon-pohon, mengingkari adanya hari akhir, tidak berkomitmen dengan syariat shalat, puasa, atau zakat, serta maraknya perbuatan maksiat seperti pembunuhan, zina, dan homoseksual. Oleh karena itu, dengan semangat membara beliau memulai gerakan pemurnian Islam.
Namun sayangnya, gerakan pemurnian Islam yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan sejumlah pengikutnya dibarengi oleh faham pengkafiran dan dilakukan dengan cara-cara yang penuh dengan kekerasan.
Pada saat itu banyak yang mendukung gerakan ini, tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya. Akhirnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diusir dari Najd dan lari ke daerah Dar'iyyah, yang mempertemukan dirinya dengan seorang penguasa lokal, Muhammad bin Sa'ud. Mereka mengadakan kerjasama sampai akhirnya menjadi peletak dasar bagi terbentuknya Kerajaan Saudi Arabia yang bercorak Wahabiyah sampai saat ini.