Lihat ke Halaman Asli

Menunggu Rapat Mereka

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Kau juga beda?

Jadi jangan banyak bicara,"

kata mereka.

Secara tersirat, ku tahu, aku diminta pergi, keluar dari rapat.

Tapi aku masih ada. Menyaksikan semua. Ternyata dianggap bagian dari musuh mereka, hanya karena aku beda. Apa salah, kalau aku berbeda? Aku bukan mereka, tapi tak berpihak pun dianggap sesat. Mungkin bagi mereka, seperti agama, setiap manusia harus beragama.

Mereka anggap aku atheis, okelah, kalaupun begitu, buatku, agama bukan untuk pamer. Aku cinta seorang gadis pun tidak untuk kukatakan, bahkan kepada teman. Yang jelas, aku tidak suka pamer seperti mereka. Bagiku cinta bukan untuk pajangan.

Pamer apa? Pamer kuasa, pamer ke-kami-an, pamer identitas?

Padahal ke surga pun tak perlu bawa identitas. Mati konyol di tangan musuh, demi panji-panji yang selama ini dibela, akhirnya hanya sia-sia. Mungkin Tuhan murka, sebagian dari mereka yang lebih cinta panji daripada Tuhan. Bagaimana berapa ratus-ratus ribu orang menyumpahi, mungkin mereka lupa. Sumpah serapah orang-orang yang dirampas haknya, orang-orang yang disingkirkan, orang-orang yang dihakimi, tapi mereka lupa. Atau pura-pura lupa? Atau mengatakan sudah sadar? Kurasa terlambat sudah. Balasan demi balasan satu per satu berdatangan. Jadi, silakan pasang cermin lebih tinggi lagi.

Ketika mereka berperang melawan musuhnya di medan laga: Opini yang difaktakan, dasar argumentasi lama kelamaan ternyata terlihat berbasis kebutaan, umpatan, makian, membodoh-bodohkan, rasa-rasanya kok mirip orang sedang "mengkafirkan". Khawarij!

Aneh, yang beda adalah musuh mereka, tapi makin "atheis" dianggap lebih hina lagi. Mungkin pelerai pun dianggap lebih hina oleh mereka. Para peserta rapat itu ternyata lebih benci kami dibandingkan musuh. Tak heran, kami pun dicap setan, atau iblis mungkin!

Mereka mengingkari identitas mereka sendiri, tidak sadar, bahwa bahasa yang mereka gunakan tidak pernah berjenis kelamin! Bahasa banci? Bukan, hanya netral. Tak terkontaminasi, tak terpinggirkan, tak ada emansipasi, tak ada keberpihakan. Itulah sifat sejati bangsa ini, yang mereka sendiri ingkari, lupa jatidiri. Rupanya hanya demi luapan emosi. Alasan hanya menanggapi atau membalas dendam memperlihatkan birahi angkara sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline