Seperti halnya seekor gurita, korupsi di Indonesia semakin kuat melilit dan mencengkeram sendi-sendi negeri ini. Korupsi mulai berkembang dari pemerintahan pusat hingga pemerintahan lokal (desa). Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah dan memberantas kasus kejahatan korupsi ini, namun upaya tersebut hingga kini belum juga menemukan kemenangan.
Tindakan yang menyalahgunakan wewenang ini merupakan salah satu penyebab suatu negara mengalami kerugian yang cukup fatal. Mengapa demikian? Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan ternyata disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para pejabat. Sehingga banyak daerah yang pembangunannya masih tertinggal bahkan infrastrukturnya sudah tidak layak lagi.
Mengungkap Modus Tindakan Korupsi di Tingkat Desa!
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dikarenakan oleh adanya niat dari dalam diri individu atau kelompok serta kesempatan dari pelaku untuk menyalahgunakan wewenangnya. Begitu juga sama halnya dengan korupsi yang terjadi di lingkup pemerintahan lokal (desa).
Apa saja sih yang membuat kepala desa melakukan korupsi? Hal pertama yang melatar belakanginya ialah seorang kepala desa itu sering sekali menjadi ujung tombak sekaligus menjadi ujung tombok. Maksudnya yakni seorang kepala desa memiliki keharusan untuk 24 jam melayani warganya. Sebagai contoh ketika terdapat satu atau lebih dari warga masyarakatnya yang melahirkan atau meninggal dunia, seorang kepala desa diharuskan datang sebagai bentuk rasa menghargai dan menghormati kepada warganya. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, kepala desa akan mendapat stigma negatif dari warganya. Disamping itu, kepala desa harus memberikan sumbangan. Dengan gaji yang tergolong kecil karena hanya mengandalkan sumbangan dari hasil bumi: padi, kelapa, atau tanah bengkok.
Kedua, Kemudian pada saat kampanye pemilu, kepala desa memilih strategi untuk meningkatkan elektabilitasnya melalui budaya money politik, namun disatu sisi memiliki modal yang sangat lemah. Dan pada akhirnya terdorong untuk melakukan korupsi dengan tujuan untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan pada saat pemilu untuk mengembalikan finansial politiknya.
Ketiga, Kurangnya transparansi dan rendahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat desa yang tidak peduli dengan urusan pemerintah karena mereka lebih fokus terhadap pekerjaannya sebagai petani, pedagang maupun melaut. Hal-hal yang terkait anggaran maupun tentang urusan penyelenggaraan negara dianggap sebagai pekerjaan orang pintar (tokoh-tokoh desa) saja. Peran anak muda tidak berfungsi karena mayoritas mereka bermigrasi ke kota-kota besar untuk bekerja.
Lalu apa dampak yang ditimbulkan dari korupsi?!
Kegiatan mencuri atau mengambil barang yang bukan miliknya menjadi salah satu langkah awal kerusakan mental. Bagi negara berkembang, kasus korupsi cukup mengganggu stabilitas pembangunan. Gunnar Myrdal telah menjelaskan bagaimana dampak korupsi dapat merusak berbagai sektor dalam negara. Kelesuan yang terjadi di sektor usaha dan pasar nasional yang disebabkan oleh minimnya hasrat untuk terjun ke dalam sektor tersebut. Disisi lain juga berdampak kepada stabilitas politik sehingga menyebabkan penurunan martabat pemerintah di mata masyarakat.
Dengan demikian, tindakan korupsi ini perlu kita cegah dan harus kita perangi bersama. Kasus korupsi yang meningkat setiap tahunnya harus kita tekan agar stabilitas pembangunan lebih baik lagi. Sebagai generasi muda yang peduli terhadap keberlangsungan penyelenggaraan negara kita perlu peduli akan hal tersebut. Selain itu, kerja sama seluruh elemen dari masyarakat sipil dan para birokrat saling berkontribusi membersihkan kejahatan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H