Lihat ke Halaman Asli

Pertanian Ekologis (Sekapur sirih)

Diperbarui: 7 Maret 2017   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disadari atau tidak, keberhasilan bertanam hortikultura ditentukan oleh empat faktor, yaitu Minat, Bakat, Pengetahuan dan Keberuntungan. Keempat faktor tersebut tidak terpisahkan, saling terkait dalam satu kesatuan, serta berlaku untuk siapapun dan dimanapun.

Minat dalam hal ini bisa diartikan sebagai kemauan, keinginan atau ketertarikan kuat untuk melakukan usaha bertanam hortikultura (dalam konteks ini).  Minat tersebut biasanya berangkat dari pamrih untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari sebuah kegiatan usaha secara ekonomi. Tetapi banyak juga yang diawali dari hobi atau kesenangan pada sosok tanaman dan lingkungan pertanian yang asri.

Bakat dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai talenta bawaan lahir tentang kemampuan bertanam yang melekat pada diri seseorang.  Orang tua bijak suka menyebut seseorang yang berbakat dalam bertanam sebagai “Bertangan Dingin”.  Biasanya orang semacam ini memiliki insting yang kuat pada “kebutuhan” tanaman tiap saat, serta mempunyai “rasa kasih sayang” yang tinggi terhadap tanaman tersebut.  Lalu bagaimana jika ternyata kita tidak “bertangan dingin” sementara memiliki minat yang tinggi?  Berdasarkan pengalaman penulis, hal tersebut bisa disiasati dengan kepiawaian dalam memilih orang yang akan terjun langsung membantu kita di lapangan, yaitu diupayakan yang memiliki bakat kuat dalam bertanam.

Pengetahuan yang disebut di atas adalah pemahaman yang benar tentang seluk beluk bertanam suatu tanaman hortikultura.  Pengetahuan bisa diperoleh dari belajar kepada petani lain yang lebih berpengalaman maupun dari buku-buku petunjuk bertanam hortikultura yang banyak tersedia di toko-toko buku.  Semakin sering bertanam, maka akan semakin kaya pengetahuan tentang cara bertanam yang benar,  lihai dalam pengaturan dan pengelolaan semua tahapan pekerjaan dengan baik dan efisien, serta mengetahui kendala-kendala yang mungkin dihadapi di lapangan.

Keberuntungan sering disebut sebagai “hoki”, yang tidak lain adalah ketentuan, ketetapan atau takdir dari Yang Maha Kuasa terhadap sebuah kegiatan usaha pertanian.  Dalam kegiatan usaha pertanian selalu terdapat “faktor x”, yakni kendala alam yang bisa datang tiba-tiba, wabah hama penyakit yang bisa menyerang tidak terduga dan fluktuasi harga yang sulit dikira-kira, yang paling menentukan suksesnya usaha secara ekonomi. Diawali dengan niat baik, senantiasa berdo’a, serta menghormati, menghargai dan memberikan hak setiap pekerja yang membantu dalam kegiatan usaha pertanian merupakan salah satu upaya untuk memperoleh keberuntungan yang baik.  Bahkan dalam ajaran beberapa agama diyakini bahwa sebagian dari hasil pertanian merupakan hak orang lain yang wajib dikeluarkan dan dibagikan kepada orang-orang yang kurang beruntung.

Berawal dari pertanyaan-pertanyaan pembaca buku karya penulis melalui pos-el maupun telepon, pertanyaan-pertanyaan peserta dalam setiap acara training maupun seminar pada saat penulis sebagai salah satu narasumber, pertanyaan-pertanyaan klien penulis dalam kesempatan konsultasi dan pertanyaan-pertanyaan dari sahabat-sahabat petani, maka terinspirasi niat untuk menyebarkan kembali tanya-jawab tersebut kepada masyarakat.  Sengaja pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dikelompokkan ke dalam beberapa bab untuk memudahkan alur ulasannya.  Harapan penulis, semoga informasi tersebut akan menambah wawasan pengetahuan tentang masalah-masalah yang mungkin dihadapi di lapangan dalam kegiatan pertanian hortikultura, sehingga bisa mengantisipasi untuk menghindarinya dan punya solusi untuk segera mengatasinya.

Seperti yang tersirat dalam buku-buku pertanian karya penulis, di dalam tulisan berikut inipun penulis tetap berkomitmen untuk membudayakan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan melalui konsep “Pertanian Ekologis”.  Seperti diketahui, Indonesia pernah mengalami masa “revolusi hijau” dalam upaya mendongkrak produksi pertanian dengan aplikasi pupuk kimia dan pestisida kimia, yang dikenal dengan istilah “Pertanian Kimiawi”.  Pada awalnya memang terbukti sukses yang sempat menghantarkan Indonesia sebagai Negara Swasembada Pangan.  Namun belakangan ini ditemukan fakta bahwa konsep Pertanian Kimiawi berdampak merusak lingkungan pertanian, tingkat kesuburan tanah menurun drastis dan generasi berbagai jenis hama penyakit tanaman menjadi kebal yang sulit untuk dikendalikan.  Kemudian pada dekade belakangan ini muncul gerakan pertanian kembali ke alam (Back to Nature) melalui konsep “Pertanian Organik”, yang dalam prakteknya meninggalkan segala bentuk sarana produksi pertanian yang berbahan kimiawi, sebagai gantinya menggunakan sarana produksi yang berbahan organik.  Hasilnya, produktifitas pertanian organik sangat rendah.  Namun berhubung kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan hasil pertanian semakin tinggi, berhasil membuat harga jual produk pertanian organik mampu mengimbangi rendahnya produktifitas, sehingga marginnya masih layak secara ekonomi.

Berbekal pengalaman penulis sebagai praktisi pertanian selama hampir 25 tahun bisa disimpulkan bahwa konsep Pertanian Kimiawi maupun konsep Pertanian Organik masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.  Oleh karena itu untuk menyiasati fakta semakin menyempitnya luasan lahan pertanian, namun di sisi lain semakin bertambahnya jumlah penduduk, serta tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan keamanan pangan, maka penulis mencoba untuk menggabungkan kedua konsep tersebut ke dalam konsep baru yang disebut konsep “Pertanian Ekologis”.  

Terbukti, konsep Pertanian Ekologis telah mampu meningkatkan produktifitas pertanian yang tidak merusak lingkungan dan hasil produknya masih tetap aman untuk dikonsumsi.  Dengan demikian konsep “Pertanian Ekologis” bisa hadir memberi jawaban terhadap meningkatnya konsumsi pangan akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk dan semakin menyempitnya luasan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan, pabrik, dan pembangunan fisik non pertanian lainnya, yang barangkali tidak bisa dilakukan oleh konsep “Pertanian Organik” dalam skala makro.  Demikianpun dampak  negatif  terhadap kelestarian lingkungan yang diakibatkan oleh aplikasi konsep “Pertanian Kimiawi” tetap masih bisa dihindarkan  dengan penerapan konsep “Pertanian Ekologis”.    (BERSAMBUNG)

Ir. Wahyudi.  Praktisi pertanian, konsultan pertanian, trainer pertanian dan penulis buku pertanian.                                                                                           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline