Bagi anak sekolah seperti saya, kereta api Padang ke Pariaman adalah salah satu pavorit saya.
Sebelum tahun tujuh puluhan, kereta api dari Pariaman ke Lb
Alung lebih dahulu dari bus.
Bukan karena cepat, tapi naik Bus ke Padang jalan memutar lebih jauh ke Sicincin. Melalui jalan ke Pauh Kambar yang lebih dekat tidak bisa karena ada sungai besar yang belum ada jembatan
Banyak penumpang ke Padang naik kereta api ke Lubuk Alung lalu nyambung dengan Bus yang lewat dari Pariaman atau Bukittinggi lebih banyak agar lebih cepat.
Meski agak lambat lebih nyaman naik kereta api. Bisa bawa sepeda dan dan sering (diakali) gratis naik kereta api. (kenakalan remaja.)
Caranya ketika kondektur memeriksa dari ujung, belum sampai keujung lain kereta sudah berhenti di stasiun singgahan.
Turun dari kereta api masuk ke gerbong penumpang yang sudah diperiksa. Cara yang kurang terpuji pada hal tiketnya relatif murah.
Tiket kereta api dari kertas tebal yang dibolongi oleh kondektur dengan alat tanda sudah diperiksa.
Terkadang juga diketahui, cukup bayar seharga karcis tanpa bukti ke kondektur.
Biasa kondektur rajin tengok penumpang baru. Tapi tidak semua diperiksa kalau sudah dua kali.
Saya pura pura sudah diperiksa dan naik turun kereta api dengan sigap.
Baju siap siap saja kotor karena bara halus terbang dari asap uap kereta api batubara.
Waktu kecil sekali saya juga tinggal di stasiun besar Padang Panjang. Ini adalah persimpangan jalan kereta api ke Padang, Solok atau Bukittinggi. Stasiun cukup besar saya kira.