Geleng-geleng kepala sajalah. Tak ada lain yang dilakukan. Memang begitu kamu.
Sudah ada tiga kali matahari mengitari bumi, tak terkirim kata. Gambar profilmu pun tak di situ. Pesan terakhir bahkan sudah kadaluwarsa. Kutulis kalimat memperbarui memori, "Kusadar aku gak penting buatmu. Kumundur saja. Tenanglah, ku tak lagi menghantui. Ini pesan terakhirku."
Hanya beberapa waktu setelah itu, ketika matahari mulai mengintip jendela, belum penuh mataku terbuka, telah berderet kata beruntutan di layar.
"Pulsaku habis. Banyak kerjaan. Benar-benar hectic. Maaf aku tak sempat. Gak.ada signal . Tapi aku bisa memulainya lagi. Apa yang kamu tanyakan kemarin?" Dan aku tiba-tiba lupa dengan kataku sendiri. Dengan senyum mengembang dan hati berbunga-bunga kutuliskan kembali. Panjang dan lebar. Seperti air sungai mengalir di musim hujan. Tak putus.
Tapi...setelah itu...kamu raib (lagi) untuk kesekian kali membawa lari berpotong-potong kata dan gambar. Membiarkan konversasi tak selesai yang memaksaku menunggu dalam sepi.
Kamu muncul lalu menghilang. Seperti petikan lirik lagu Rhoma Irama "kau yang mulai, kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kamu yang mengingkari".
Seperti Jelangkung permainan waktu kecil dulu. Datang tak diundang, pergi tak diantar. Seperti pencuri. Datang tak bilang, pergi tak pamit dan melangkah tanpa suara. Makhluk ajaib yang kadang ada kadang tidak. Sesaat timbul setelah itu tenggelam. Ada lalu tiada.
Berapa kali sudah ku membuat putusan untuk mengakhiri karena lelah. Sudah tak cukup dengan jari, marah tapi kemudian memaafkan. Haruskah kuputar waktu untuk mengulang peristiwa yang sama? Kurasa tidak. Cukuplah sudah hari ini. Mungkin memang begitulah kamu ditakdirkan untukku.
Semoga saja kekasih barumu kelak (jika sudah kamu temukan) dapat memahami seperti aku memahamimu.
Yogyakarta, 25 April 2020