Kapan terakhir kali Anda bahagia?
Itu adalah pertanyaan yang sering saya ajukan saat berhadapan dengan klien.
Saya baru mengetahui jika 20 Maret diperingati sebagai Hari Kebahagiaan Internasional. Tidak tanggung-tanggung, penetapan ini dilakukan oleh PBB pada tahun 2012. Belakangan ini bahagia seperti barang langka yang dicari banyak orang, namun tak jua ditemukan. Coba perhatikan di toko buku, kita pasti sangat mudah menemukan buku yang mengulas tentang kebahagiaan dan turunannya. Tak jarang buku-buku itu menjadi best seller pula. Situasi ini mungkin mengindikasikan ada banyak orang yang kehilangan cara untuk bahagia. Kebahagiaan seperti benda asing yang harus dicari di luar sana. Padahal bahagia itu adalah pilihan. Kitalah yang memilih untuk bahagia atau bersedih, seperti yang disampaikan Domonique Bertolucci dalam bukunya The Happiness Code. Lalu seperti apa sebenarnya bahagia itu?
[caption id="attachment_374028" align="aligncenter" width="300" caption="dok. pribadi"][/caption]
Seorang teman pernah mengatakan bagaimana sensasinya bahagia.”Rasanya seperti ada sesuatu yang menjalar di punggungku, perasaan yang tidak dapat dijelaskan tapi membuatku nyaman, bersemangat, dan tentu saja bahagia”. Sayangnya, sudah bertahun-tahun dia tidak pernah merasakan sensasi yang sama. Bahkan untuk hal-hal yang dulu bisa membuatnya bahagia, sekarang terasa hampa. Apa yang dialami oleh teman saya membuktikan bahwa bahagia itu adalah pilihan. Dan mungkin kita pun pernah merasakan hal yang sama.
Saat menjalani praktik profesi psikolog, saya mendengarkan banyak orang yang bercerita tentang rasa frustasi dan kehampaan. Jenis masalah yang dihadapi oleh klien sangat beragam, namun akar masalahnya hampir sama, konflik keluarga. Saya membagi klien menjadi dua kategori: klien yang mudah disadarkan dan tidak bisa/sangat sulit untuk disadarkan. Konteks disadarkan dalam intervensi psikologi ketika klien menyadari masalahnya dan tahu apa yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan masalah itu. Nah, salah satu pertanyaan yang sering saya lontarkan untuk memicu kesadaran klien adalah “kapan terakhir kali Anda bahagia?”
Klien yang mengalami masalah emosi sering membangun tembok untuk menutup akses kebahagiannya. Biasanya akses ditutup dengan cara yang tidak mereka sadari, salah satunya dengan menekan emosi sedih, marah, atau kecewa. Jika kita sedang bersedih, tidak ada salahnya menangis. Ingat kalimat Baymax si robot lucu di film Big Hero 6? Crying is a natural response to pain. Hal yang sering terjadi, kita berpura-pura menguatkan diri, padahal emosi negatif sedang memuncak. Semakin kita menekan emosi negatif, semakin tebal pula tembok yang menutup akses kebahagiaan. Dan hati-hati, gangguan emosi tinggal menunggu waktu untuk benar-benar melenyapkan kebahagiaan.
Hadirnya kebahagiaan adalah indikator utama kesehatan mental. Salah satu definisi kesehatan mental adalah keseimbangan kesehatan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual yang diperoleh dengan kemampuan menyelesaikan masalah. Orang yang sehat mental bukanlah manusia yang tidak memiliki masalah. Justru orang yang sehat mental punya beragam masalah, namun mereka bisa menyelesaikannya dengan cara yang tepat. Artinya, kebahagiaan tidak hadir dari ketiadaan masalah, namun bagaimana kita mampu menyelesaikan masalah dengan perasaan bahagia.
Saya pernah bertemu seorang ibu yang datang ke ruang konsultasi psikologi dengan wajah tanpa ekspresi. Begitu saya tanya kabarnya, ibu ini langsung menangis. Setelah tenang, beliau mulai menceritakan masalahnya. Ternyata suaminya berselingkuh dan ibu ini kenal dengan wanita tersebut. Suaminya terang-terangan mengaku bahwa dia berselingkuh. Ibu tersebut merasakan sakit hati yang luar biasa. Ada perasaan marah, kecewa, dan sedih yang tidak dapat diungkapkan.
Peristiwa tersebut sudah terjadi lebih dari enam bulan, namun ibu ini belum mampu melepaskan emosi negatifnya. Apalagi sekarang dia menjadi orang tua tunggal bagi dua anak yang beranjak remaja. Beliau sangat kesulitan untuk merasakan kebahagiaan. Meskipun anak-anaknya meraih prestasi di sekolah, tetap saja beliau tidak sepenuhnya bahagia. Saya kemudian bertanya,”Apa yang paling Ibu syukuri saat ini?” Dan sejurus kemudian beliau kembali terisak-isak. Ya, ternyata selama ini beliau dikuasai oleh kemarahan terhadap mantan suaminya, sehingga dia memaksa bekerja sekeras mungkin untuk meraih kebahagiaan. Nyatanya, kebahagiaan tidak pernah muncul dari rasa marah. Kebahagiaan hadir melalui rasa syukur manusia terhadap anugerah Tuhan. Dalam kasus ibu tersebut: keberadaan anak, kesehatan, dan kesempatan bekerja adalah nikmat Tuhan yang selama ini diabaikan. Beliau terpaku pada rasa marah yang tiada habisnya. Pada akhirnya, kebahagiaan berkelindan dengan rasa syukur dan memaafkan.
Mengapa bahagiamenjadi sesuatu yang penting? Sebab bahagia mampu mendorong manusia pada kebaikan. Jika seseorang tidak mampu merasakan kebahagiaan, artinya dia mengalami masalah emosi yang serius. Ketidakmampuan merasakan kebahagiaan disebut dengan anhedonia. Kondisi ini merupakan salah satu gejala yang mengarah pada skizofrenia dan gangguan depresi. Dunia psikologi klinis tidak lagi melihat manusia dari sisi negatif, seperti paradigma beberapa dekade lalu. Sejak Martin Seligman mendeklarasikan psikologi positif pada 1997 lalu, paradigma psikologi klinis bergerak ke arah potensi positif manusia saat menghadapi masalah. Emosi positif memang tidak langsung menyelesaikan masalah, namun emosi positif membantu kita untuk berpikir positif dan mengambil keputusan yang positif pula.
Akhirnya, bahagia itu sederhana, sesederhana memberikan senyuman atau pun mendapatkan senyuman dari orang lain, apalagi jika mereka adalah orang yang kita sayangi. Bahagia itu sederhana, sesederhana berbagi cerita pada sahabat yang sudah lama tak bersua. Bahagia itu sederhana, sesederhana mendengarkan lagu favorit diputar di radio. Bahagia itu... Silakan Anda lanjutkan sendiri, hehe.
Jadi, kapan terakhir kali Anda bahagia?
[caption id="attachment_374029" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar www.chinatownpartnership.org"]
[/caption]
@yudikurniawan27
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H