Lihat ke Halaman Asli

Yudi Kurniawan

TERVERIFIKASI

Psikolog Klinis, Dosen

Antara Resiliensi, Thalassemia, dan Kebangkitan Psikologis

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang bisa membuat anda bangkit dari keterpurukan? Keyakinan, harapan, cinta, atau hal lainnya?

Saya selalu terkesan dengan orang-orang yang mampu bangkit dari ketidakmampuan. Bahkan tak jarang mereka yang pernah “terjatuh” ini bisa melenting lebih auh di atas orang yang, mungkin, hidupnya datar-datar saja. Saya pikir orang-orang besar dan berpengaruh dalam sejarah dunia mengalami fase “bounce back” ini. Nabi Muhammad misalnya, pernah mengalami masa sulit dengan ditinggal wafat oleh orang-orang terdekatnya. Atau para pejuang kemerdekaan seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang puas mengecap rasanya dipenjarakan oleh penjajah. Tapi masa-masa sulit itu justru menjadi pijakan bagi mereka untuk bisa melompat lebih tinggi.

Dalam dunia psikologi, kemampuan tersebut dikenal dengan istilah resiliensi. Orang-orang yang mampu melakukannya disebut dengan individu yang resilien. Pada umumnya, resiliensi bisa dilihat pada orang-orang yang memiliki trauma fisik ataupun psikologis. Resiliensi juga bisa muncul pada seseorang yang menderita penyakit tertentu tapi tetap mampu bermanfaat bagi orang lain. Sepertinya artis Pepeng bisa masuk dalam katagori orang yang resilien.

Nah, karena saya seorang mahasiswa psikologi, maka saya memutuskan untuk meneliti mengenai masalah resiliensi sebagai skripsi. Respondennya adalah penderita thalassemia. Thalassemia ini adalah gangguan genetik yang mengakibatkan pembentukan sel darah merah menjadi tidak sempurna dan rusak. Orang-orang yang saya ambil sebagai responden adalah penderita thalassemia di Yogyakarta yang bekerja di sela-sela waktu pengobatan mereka. Saya hanya ingin mengetahui dua hal: Faktor apa saja yang bisa membuat mereka resilien dan bagaimana proses resiliensi itu dapat terbentuk. Makanya saya menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode penelitian.

Hasilnya, saya mendapatkan bahwa kedua responden bisa bangkit dari kerentanan fisik yang mereka alami. Intinya, mereka tidak merasa berbeda dari orang lain sehingga mereka juga punya mimpi dan cita-cita. Ternyata, akar dari keyakinan dan mimpi mereka adalah trust. Mereka mendapatkan kepercayaan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Mereka juga diterima apa adanya oleh keluarga sehingga mereka tidak merasa berbeda. Akhirnya trust tersebut saya tempatkan sebagai faktor kunci penentu resiliensi.

Setiap manusia pasti memiliki masalah. Seringkali manusia juga jatuh ke dalam masalahnya. Saya yakin setiap orang yang jatuh pasti bisa bangkit dengan diterima dan diberikan kepercayaan oleh lingkungannya. Tapi, untuk membuat Indonesia menjadi bangsa yang resilien (mampu bangkit dari keterpurukan), kepercayaan itu harus kita letakkan pada siapa? Hmm, mungkin kita harus percaya dulu kepada diri sendiri. Baru kita bisa mempercayai orang lain.

Salam sukses!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline