Lihat ke Halaman Asli

Yudi Kiswandi

Dosen Praktisi dan Mahasiswa

Menelisik Nilai Pawongan di Tanah Pariri Lema Bariri

Diperbarui: 20 Oktober 2024   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 sumber gambar: Instagram @rahmidara03

             

 

            Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang dihuni oleh banyak suku bangsa yang beragam. Keragaman yang hadir di Indonesia turut memunculkan anggapan dari berbagai negara sekitar bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya dan mengilhami kekuatan persatuan. Luasnya wilayah Indonesia turut menjadi alasan menetapnya suku bangsa yang beragam dan menjadikan Indonesia menjadi Negara layak huni. Berbagai karunia yang tercipta tersebut tidak terlepas dari campur tangan tuhan yang maha esa yang telah mempersiapkan segala keindahan dalam keragaman di muka bumi secara terencana.

            Dalam menghiasi berbagai keragaman tersebut, tuhan menghadirkan manusia di dalamnya dan dijadikan sebagai tokoh-tokoh yang diharapkan mampu untuk dapat menjaga lingkungan tempat tinggalnya, membangun tradisi yang baik antar sesamanya, dan berbaur dalam mewujudkan nilai-nilai kehidupan yang harmonis. Salah satu contoh besar dalam mewujudkan nilai kehidupan yang harmonis adalah dengan mewujudkan aktivitas gotong royong yang pada saat ini masih menjadi salah satu nilai sosial yang tidak dapat terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, utamanya masayarakat yang berada di lingkungan pedesaan (Danurwindo et al., 2024). Secara terang-terangan aktivitas gotong royong menjadi salah satu kekuatan yang dimiliki oleh persatuan anggota masyarakat untuk dapat menjalin hubungan yang baik.

            Di antara sekian banyaknya keragaman, kekayaan, dan keindahan. Hati penulis bersungkur pada tanah pariri lema bariri yang merupakan sebutan untuk Kabupaten Sumbawa Barat. Penulis yang saat ini merupakan salah satu mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha di Provinsi Bali merasa terpantik untuk menelisik nilai-nilai pawongan yang baru dalam beberapa waktu ia pelajari dengan mengeksplorasi dan mengidentifikasi secara mendalam mengenai kearifan lokal yang berasal dari daerah di mana tempat penulis dilahirkan dan dibesarkan.

            Pawongan merupakan salah satu dari ketiga unsur istimewa yang dimiliki oleh Tri Hita Karana. Melalui unsur pawongan, penulis menyadari kehadiran nilai keharmonisan yang kerap timbul dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Meninjau lebih dalam mengenai unsur pawongan, penulis kembali menelusuri tanah pariri lema bariri yang di dalamnya telah mengimplementasikan unsur tersebut. Keharmonisan yang terjalin antar sesama manusia mencuat dari adanya rasa simpati yang diwujudkan dengan rasa empati. Tidak cukup memuaskan apabila manusia hanya bersikap simpati atas keadaan dan kebutuhan dari manusia lainnya, dibutuhkan empati yang kuat dan dijunjungi dengan rasa ikhlas untuk dapat menyempurnakan setiap hubungan dan interaksi yang terjalin.

            Salah satu bentuk keharmonisan yang masih bersemayam di tanah pariri lema bariri adalah tradisi bakalewang. Bakalewang merupakan salah satu bentuk tradisi gotong royong yang dilakukan oleh para masyarakat lelaki dan perempuan kepada rekan sesama masyarakat mereka yang sedang melangsungkan acara khitanan, perkawinan, hingga tahlilan. Meskipun kegiatan ideal dalam tradisi bakalewang didominasi dengan aktivitas memasak yang dilakukan oleh masyarakat perempuan, masyarakat laki-laki turut mengambil andil besar dalam tradisi ini melalui aktivitas membantu menyembelih hewan, memotong daging hewan yang telah disembelih, mengupas kelapa, hingga mempersiapkan kayu bakar yang akan dijadikan sebagai alat untuk masyarakat wanita memasak. Tidak hanya sebatas menyumbangkan tenaga yang dimiliki, masyarakat yang memberikan bantuan kepada penyelenggara hajatan turut memberikan bantuan berupa bahan baku makanan yang dapat diolah dan disajikan kepada tamu undangan. Berbagai bantuan yang diberikan merupakan bantuan yang diberikan secara ikhlas tanpa mengharapkan balasan dari pemilik acara hajatan. Berangkat dari asas gotong royong yang coba diimplementasikan dalam tradisi bakalewang, terhimpun sepenggal kata “saleng tulong” yang bermakna saling membantu untuk menyempurnakan penjelasan singkat mengenai tradisi bakalewang.

            Melanjutkan upaya pemberian bantuan yang diberikan, masyarakat yang memberikan bantuan turut membawa sebuah bantuan ke rumah pemilik acara hajatan. Bentuk bantuan yang diberikan tersebut disebut sebagai “panulung” yang berarti bantuan. Secara bersemangat para penduduk akan membantu mengolah dan menyajikan hidangan sebaik dan selezat yang mereka mampu guna terselenggaranya acara hajatan yang khidmat.

            Berikut ini merupakan runtutan persiapan menjelang acara bakalewang yang dilaksanakan oleh masyarakat Kecamatan Taliwang yang dimulai dengan basemula “permulaan”, rapat keluarga “rapat yang dilaksanakan bersama dengan pihak keluarga terdekat dan bertujuan untuk mengumpulkan dana dan mempersiapkan solusi kekurangan atas dana yang telah tersedia”, barajak rabaya “mengundang dan menginformasikan jadwal terselenggaranya acara hajatan kepada keluarga terdekat terlebih dahulu”, pembentukan panitia “membentuk seksi-seksi yang akan bertugas dalam menyukseskan acara hajatan”, barajak “mengajak seluruh masyarakat desa”, melala “membuat minyak goreng”, dan barulah pelaksanaan bakalewang dilaksanakan dengan datangnya seluruh masyarakat yang telah diundang untuk datang membawa bantuan yang diharapkan mampu meringankan beban ekonomi pemilik hajat (Rasada, 2019).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline