Lihat ke Halaman Asli

Yudi Hardi Susilo

Master of Clinical Pharmacy

Embun Pagi di Pedukuhan Ngebel, Bantul

Diperbarui: 24 Desember 2016   01:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Hidup sehat tidak hanya fisik saja, namun juga jiwa. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) menyebutkan," Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of diseases or infirmity". Seseorang yang fisiknya sempurna, belum bisa dikatakan sehat ketika mentalnya terganggu. Penampilan yang rapi, pendidikan yang tinggi, selera makan yang normal umumnya nampak oleh mata secara fisik, namun beberapa orang ternyata bisa saja mengalami gangguan psikis yang kemudian menjadi sebuah penyakit psikotik, seperti skizofrenia, depresi dan lain sebagainya. Sebaliknya, seseorang dengan mental sempurna, emosional yang terkendali dan nilai spiritual yang tinggi terkadang sering mengabaikan aspek fisik sehingga sering sakit-sakitan dan akhirnya bisa dikatakan tidak sehat. 

Salah satu faktor yang sangat menunjang bagi kesehatan fisik dan jiwa adalah LINGKUNGAN. Dan sudah diketahui banyak orang bahwa Yogyakarta merupakan tempat yang mempunyai lingkungan yang sangat nyaman dan tenang, sangat kondusif bagi kesehatan fisik dan jiwa sehingga provinsi ini dari tahun ke tahun konsisten dengan data Angka Harapan Hidup Tertinggi di Indonesia. Salah satu tempat diantara banyak tempat di Yogyakarta yang mempunyai lingkungan yang sehat adalah pedukuhan Ngebel, Kasihan, Bantul.

Suatu saat, pada hari minggu, sekitar pukul 6 pagi waktu setempat, saya sempatkan jalan kaki keliling pedukuhan mencari udara segar karena malam sebelumnya kecewa berat oleh karena tim Indonesia yang dikalahkan oleh tim Thailand dengan skor telak 2:0 sehingga pagi-pagi saya harus refreshing melupakan kekalahan itu :) . Baru 100 meter keluar rumah, saya melihat simbah (=nenek) yang semangat menyapu halaman dan benar, keramahan orang Yogyakarta sangat menyenangkan untuk dirasakan. Ketika kita lewat dan menyapa,"Sugeng enjing mbaah."(=Selamat pagi Nek) maka nenek itu tersenyum manis dengan gigi yang sudah tak lengkap sambil menjawab sapaan,"Nggih mas, badhe tindak pundi? (=Ya mas, mau pergi kemana?") . Benar-benar komunikasi dua arah yang melembutkan hati dan menyejukkan jiwa. Barangkali berbeda ketika suatu pagi kita bangun di suatu kota besar metropolitan, menyapa orang lewat ditengah bangunan tinggi menjulang serta menjumpai aktivitas sisa malam, penuh dengan aroma tidak jelas. 

Dari tempat nenek yang menyapu halaman, saya terus berjalan menikmati udara bersih dan segar yang selanjutnya berjumpa dengan rombongan kereta dokar yang ditarik oleh sapi. Pemandangan yang membuat bibir kembali tersenyum, melupakan segala macam kekecewaan, dalam hati ingin mengejar kereta tanpa polusi itu dan ikut naik diatasnya. Ternyata mereka sedang dalam perjalanan menuju ke pasar Ambarketawang di dusun tetangga. Hati makin tersenyum ketika melihat tulisan di kereta itu yang berbunyi'"Nyalipo Aku Rapopo."(=Silakan duluan, saya tidak apa-apa). Orang Jogja memang terkenal kreatif dan memiliki falsafah hidup yang mendalam. 

Sikap  'nrimo'  dan mengalah tidak membuat membuat mereka dalam kedudukan yang terendah, malah justru membuat mereka menjadi tinggi dalam tingkat emosional dan kematangan jiwa. Ketika berselisih paham, falsafahnya adalah "Menang tanpo ngasorake"(=Menang tanpa harus membuat jelek dan rendah orang lain) , begitu pula dengan falsafah "Nglurug tanpo bala" (=gak perlu main keroyokan meskipun punya banyak kekuatan dan mayoritas. Hidup cuma sementara (urip mung sadermo mampir ngombe), sawang sinawang, tidak ada hal lain yang pantas dilakukan selain kebaikan. Bila ada tawuran pelajar dan kriminalitas di Yogyakarta rasanya itu bukanlah cerminan budaya warganya. Itu adalah budaya yang perlu diwaspadai yang bakal merusak keramahan dan kedamaian daerah yang indah ini.

Perjalanan saya belum berakhir menyusuri pedukuhan Ngebel Kasihan Bantul, yang kemudian bertemu dengan lahan sawah yang hijau membentang dengan embun yang begitu segar dilihat serta sinar pagi yang begitu hangat. Suasana seperti ini tidak akan bisa ditemui di kota-kota besar yang telah habis lahan hijaunya. Pedukuhan Ngebel Bantul yang terletak di belakang Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta ini sangat ideal untuk belajar, menjauh dari kebisingan dan menentramkan jiwa yang resah. 

Dokumentasi Pribadi

Lihatlah dan rasakan embun pagi di dedaunan itu. Embun pagi yang melembutkan hati dan jiwa. Mengingatkan kita akan arti hidup dan kehidupan. Mengingatkan kita agar terus membersihkan jiwa dari kebencian, dari keputusasaan dan dendam. Barangkali para pemuda yang gagah berani itu selama ini telah kering dari siraman yang menyejukkan hati. Lingkungan yang tidak kondusif membuat hatinya keras dan membeku tak merasakan lagi indahnya kebersamaan. Pertemanan yang bertujuan menyambung silaturahmi bukan saling serang dengan ketajaman lidah dan simbahan darah. Pedukuhan Ngebel Kasihan Bantul hanyalah satu contoh bahwa masih ada harapan kedamaian di Yogyakarta. 

Orang tua dan masyarakat harus bersama-sama menjaga keamanan dan keutuhan budaya ramah Yogyakarta dan Indonesia dengan terus menebarkan kesejukkan seperti hanya embun pagi yang menyejukkan hati anak-anak, pemuda-pemuda kita. Yogyakarta bukanlah bom waktu untuk sebuah kerusuhan apalagi kerusakan moral. Yogyakarta adalah potensi besar untuk menebarkan keramahan dan kebaikan yang barangkali mulai hilang di kota-kota besar. Embun pagi di pedukuhan Ngebel Kasihan Bantul semoga bertebaran di hati masyarakatnya serta masyarakat di seluruh Indonesia.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline