Lihat ke Halaman Asli

Ijtihad Dan Liberalisme

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit". Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah yang terkenal dengan "mashlahat."

Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya, "Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim).

Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."

Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad yang statusnya zhanny, yang artinya kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nasr Al-Muqaddasi), terlepas beberapa ulama hadis meragukan keshahihannya.

Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang akan bermuara pada paham "pluralisme agama" - semua agama sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar dan sebagainya. Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.

Sedangkan istilah yang sering dioposisikan dengan ijtihad adalah taqlid. Menurut bahasa, taqlid - bentuk masdar dari kata qallada - berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain, atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan pendapat mujtahid/imam tersebut.

Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam ketinggalan zaman. Namun dewasa ini, kondisi jumud dalam kerangka keilmuan Islam sudah mulai mencair. Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini harus terus kita kembangkan.

Sedangkan taqlid menurut istilah ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Atau menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat.

Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid. Beberapa hal itu ialah: Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi, dan seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi yang adil.

Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda, tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline