Lihat ke Halaman Asli

Metro TV, TVRI di Orde Baru?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14214787401733335547

[caption id="attachment_346727" align="aligncenter" width="576" caption="(Sumber: ekhopratama.wordpress.com)"][/caption]

Dinamika politik yang masif telah mengubah tatanan demokrasi di negeri ini menjadi kian tunanorma. Para aktivis, jenderal, artis, pemuka agama, hingga pengusaha media, tidak sedikit dari mereka berebut kuasa di altar politik dengan menghalalkan segala cara.

Sejak Pilpres lalu, rakyat seantero negeri dijejali dengan berbagai informasi yang cacat dan tidak berimbang. Isi berita yang ditayangkan tidak lagi bertujuan untuk menyampaikan informasi semata, tapi lebih bersifat persuasif, mengarahkan pemirsa kepada paradigma politik tertentu.

Maklum saja, karena sebagian media besar di negeri ini dimiliki oleh mereka yang aktif di ranah politik praktis, berebut untuk memenangkan jagoannya masing-masing.  Sehingga jadilah media-media itu sarana provokasi politik, mengangkat berita yang memutihkan jagoannya dan menghitamkan lawannya.

Seiring berjalannya waktu, tabiat sebagian media-media itu pun berubah. Pasca kekalahan jagoannya, TV One mulai insyaf secara perlahan, berita-berita yang ditayangkan pun kembali ke fitrahnya, berimbang! Tapi tidak demikian dengan rivalnya, Metro TV. Stasiun televisi milik Surya Paloh itu lebih mirip TVRI di era Orde Baru yang selalu membela kebijakan pemerintah, menutupi borok-boroknya. Hal itu bisa dibuktikan oleh siapa pun Anda yang menyaksikan pemberitaan yang ditayangkannya, soal Pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, khususnya.

Ini berbahaya!

Pada era Presiden Soeharto, insan pers tidak sebebas sekarang. Mereka senantiasa waswas. Salah memberitakan, media terancam diberedel atau dicabut izin terbitnya oleh pemerintah.

Menjelang akhir 1970, sejumlah surat kabar nasional ditutup. Mereka diperbolehkan beroperasi kembali setelah menyanggupi untuk tidak melancarkan kritik keras kepada pemerintah. Pemberedelan terulang pada pertengahan 1990-an. Sejumlah media cetak terpaksa tutup.

Di era Presiden BJ Habibie, setelah Soeharto mundur pada 1998, kebebasan pers dimulai. Tidak ada lagi ancaman pemberedelan. Setiap orang atau perusahaan bebas membuat perusahaan penerbitan. Maka, di tengah euforia reformasi yang meledak-ledak, tabloid, koran, dan majalah pun bermunculan dengan berita-berita politik yang begitu dominan.

Pers Indonesia semakin semarak mulai tahun 2000 karena bermunculan media-media di internet. Situasi semakin meriah karena hadir pula stasiun televisi yang fokus pada siaran berita. Kontras dengan di era Orde Baru yang minim sumber informasi, sejak tahun 2000 masyarakat Indonesia seperti kebanjiran informasi. (Kompas.com [11/02/12]).

Melalui Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, Habibie membuka rantai yang selama ini mengekang kebebasan pers Indonesia. Kebijakan tersebut sangatlah baik mengingat salah satu konsep dari sistem negara yang yang demokrasi adalah adanya peran media massa yang bebas.

Namun, kebebasan itu kini banyak ternodai oleh syahwat-syahwat politik. Kebebasan pers yang dulu diperjuangkan dengan susah payah, kini malah disalahgunakan oleh sebagian pihak yang berkuasa untuk membela kepentingannya dengan mengorbankan hak rakyat untuk memperoleh informasi yang berimbang dan sehat. Segeralah bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, Metro TV.

Saya menulis ini, karena sungguh saya cinta Metro TV. Saya rindu dengan pemberitaannya yang cerdas, berimbang, dan  sehat. Sungguh kasihan para news anchor yang cantik-cantik itu jika terus-terusan jadi SPG penguasa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline