RUU (Rancangan Undang-Undang) Pesantren dan Pendidikan Agama mendapat kritik dari PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia).
Rasanya kritik tersebut bukan hanya suara PGI semata, namun juga mewakili kegelisahan mayoritas orang Kristen.
Dalam RUU tersebut dituliskan bahwasannya pendidikan keagamaan Kristen nonformal (dalam bentuk sekolah minggu, sekolah Alkitab, remaja gereja, pemuda gereja, katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis) boleh diselenggarakan jika memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.
Selain itu, pendidikan keagamaan Kristen nonformal itu juga wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota.
Jelas ini menimbulkan keresahan bagi orang Kristen, terutama yang merupakan "produk", pengurus, maupun guru dari pendidikan keagamaan Kristen nonformal ini. Tak heran muncul petisi yang menolak pendidikan nonformal diundangkan dan sudah ditandatangani ratusan ribu orang.
Mulia, namun salah sasaran
Kalau menilik dari asal muasal dan latar belakangnya, RUU ini sejatinya memiliki tujuan yang mulia.
Lembaga pendidikan keagamaan selama ini dipandang sebelah mata dan kurang diperhatikan dalam menjalankan kegiatannya, khususnya mengenai alokasi anggaran. Anggaran bagi lembaga pendidikan keagamaan tidak terakomodasi dalam Undang-Undang, tidak seperti lembaga pendidikan umum.
Anggaran pendidikan untuk para guru ngaji, pesantren atau pendidikan keagamaan lain selama ini belum terakomodasi. Atas dasar itulah pemerintah menyusun RUU ini, agar dapat memayungi dan mewadahi semua kepentingan yang ada.
Pada kenyataannya, menjadi guru sekolah minggu, pembina kelas katekisasi, ataupun pengurus remaja/ pemuda tidak mendapat upah materi sepeserpun. Mereka mengerjakannya atas dasar kasih kepada Tuhan dan sesama.
Jika memang betul alasan pendidikan keagamaan Kristen nonformal diundangkan atas dasar alasan alokasi anggaran; mohon maaf, sepertinya pemerintah salah sasaran
Darimana datangnya syarat?
Seperti yang telah diungkapkan oleh PGI bahwa pendidikan sekolah minggu dan katekisasi tidak bisa disetarakan dengan model pendidikan pesantren. Sejatinya mereka merupakan bagian hakiki yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta dan mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan.