Lihat ke Halaman Asli

Buruh Intelek di Sistem Outsourcing

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya banyak yang tidak tahu bagaimana bekerja dengan sistem alih daya (outsourcing) itu. Mereka hanya berpikir yang penting bekerja daripada nganggur, supaya ada penghasilan untuk kehidupan sehari-hari. Namun setelah menjalaninya, ternyata jenjang karir hanya begitu-begitu saja, tidak ada kenaikan, hanya perputaran penugasan dari seksi atau divisi satu ke lainnya. Kenaikan gaji pun tergantung dari hati user/klien walau pun pemerintah sudah menetapkan besaran Upah Minimum Propinsi (UMP).

Seorang pekerja alih daya di sebuah perusahaan swasta terkenal selama 6 tahun bekerja hanya menerima bonus saat tahun kedua bekerja. Itu pun jumlahnya kurang dari satu bulan gaji pokok. Rekan sejawatnya pun miris jika mendengar atau melihat para staf permanen yang bekerja secara langsung kepada klien menerima bonus hingga 3 kali lipat gaji. Apalagi tenaga keamanan alih daya yang juga dipekerjakan di tempat yang sama selalu mendapat bonus tahunan.

Insentif kehadiran tenaga alihdaya di perusahaan itu diberikan jika dalam sebulan kerja hadir terus. Namun jika satu hari saja cuti, maka insentif kehadiran dipotong Rp.50.000,-, jika dua hari Rp.100.000,-, tiga hari atau lebih Rp.150.000,-. Hal ini juga berlaku untuk sakit atau izin tidak masuk.  Entah mengapa kalau cuti tidak diambil tidak dibayarkan uang cutinya. Bahkan ada perusahaan alih daya yang mengenakan denda atau penalti jika karyawan mengajukan pengunduran diri dari perusahaan hingga 50% dari gaji, baik di masa kontrak atau tidak sebulan sebelum pengunduran dirinya.

Seorang pekerja alih daya yang sudah mengantongi tiga buah sertifikat sebagai karyawan terbaik dari kliennya, menyayangkan prestasinya cuma tinggal prestasi. Untuk menjadi karyawan tetap, baik personalia klien atau pun perusahaan alih daya sama sekali tidak ada perhatian. Ketika soal loyalitas tenaga alih daya tidak usah dipertanyakan, tiba-tiba klien merekrut tenaga kerja baru langsung menjadi permanen. Sedangkan masih banyak karyawan alih daya yang sudah bertahun-tahun bekerja tidak diberi kesempatan jadi permanen. Mekanisme penghargaan itu rupanya bertujuan agar karyawan alih daya dapat pergunakan sertfikatnya untuk melamar pekerjaan di tempat lain jika tenaganya sudah tidak digunakan lagi oleh kliennya.

Perusahaan alih daya seolah merasa berjasa karena sudah merekrut dan mempekerjakan. Entah itu klien yang mencari karyawan lalu dialihdayakan atau sebaliknya tenaga kerja dari perusahaan alih daya diajukan ke klien, jika klien setujui maka tenaga kerja akan diproses secara alih daya. Alhasil kerja personalia dari klien menjadi ringan, begitu pun kerja personalia alih daya hanya sebagai jembatan atau penampungan.

Para pekerja alih daya tidak hanya dapat kita jumpai di pabrik atau kawasan industri di pinggiran ibukota. Pekerja kantoran pun tak luput dari sasaran sistem alih daya personalia perusahaan yang mungkin bisa disebut juga buruh intelek. Pakaian mereka necis, perlente, berdasi, sepatu pantofel, seperti eksekutif muda atau wanita karir dengan rok sepan dan blazer, sepatu hak tinggi. Tak jarang juga mereka disuruh mengenakan seragam sebagai representatif kliennya. Sedihnya seragam pun masih dibedakan antara permanen klien dengan tenaga alih daya, bisa dari desain, warna dan lainnya. Sehingga kontraslah perbedaan antara karyawan permanen dengan alih daya selain soal gaji.

Kadang para tenaga alih daya intelek berpikir kita ini buruh atau bukan? Padahal tingkat pendidikan lebih tinggi dari buruh pabrik, mulai D3 sampai S1, menguasai keterampilan program komputer perkantoran hingga bahasa Inggris. Apakah hanya beda tempat kerja saja, kalau buruh di pabrik di kawasan industri di daerah pinggiran kota sementara buruh intelek di lingkungan perkantoran? Untuk urusan gaji tak jarang buruh intelek lebih kecil dibanding buruh pabrik. Bedanya buruh intelek ini tidak terorganisir seperti serikat buruh atau pekerja di pabrik-pabrik. Namun mereka lebih berisiko untuk diputuskan kontrak oleh klien dengan tanpa pembelaan dari serikat pekerja yang tidak mereka bentuk.

Pertama karena lokasi pekerjaannya lebih kecil, seperti di gedung perkantoran atau ruko. Kedua, jumlah karyawannya yang relatif sedikit dibanding pabrik atau kawasan industri. Ketiga, rasa kurang senasib dan sepenanggungan dari masing-masing pekerjanya sehingga terkesan cari aman masing-masing dan tidak kompak. Hal ini yang menyebabkan keluar masuk pekerja lebih sering terjadi pada buruh intelek ini. Hal ini menjadi suatu keuntungan bagi klien untuk penyegaran tenaga kerja dan divisi training akan selalu ada kegiatan pelatihan untuk karyawan baru.

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan UU No. 13/2003 dan Permenakertrans No. 19/2013 tentang outsourcing, sistem alih daya hanya boleh untuk 5 golongan pekerjaan, seperti keamanan, jasa kebersihan, transportasi, catering dan jasa migas pertambangan. Berarti Departemen Tenaga Kerja atau Dinas Tenaga Kerja Propinsi harus melakukan pengawasan berjalannya sistem ini. Sebab banyak juga perusahaan terkenal baik BUMN maupun swasta yang menerapkan sistem alih daya dengan mengalihkan urusan ketenagakerjaannya ke koperasi karyawan yang mereka bentuk sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline