Lihat ke Halaman Asli

“Sensualitas” Bencana Alam

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13923944821037525151

“Dalamnya lautan dapat diukur, dalamnya hati sulit untuk diduga”

Namun demikian, sebenarnya ada suatu cara sederhana untuk mengetahui isi hati seseorang. Cermati reaksi, komentar, atau tanggapannya atas suatu perkara!

Mudah bukan?

Ada dua kelompok manusia berdasarkan reaksi mereka atas kesusahan ataupun kebahagiaan orang lain ataupun masyarakat di sekelilingnya.

Kelompok pertama “susah melihat orang lain susah dan senang melihat orang lain senang.” Sedangkan kelompok kedua justru “senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang.”

Kelompok pertama sungguh langka, namun kelompok kedua bertebaran di sekeliling kita. Dan mungkin, kita dengan mudahnya terhasut dan terjebak sehingga secara sadar maupun tidak sadar menjadi bagian kelompok yang kedua.

Di tahun politik ini, sangat miris apabila setiap hal dipolitisir. Setiap niatan baik dan tanggung jawab begitu mudahnya diputar balikkan sebagai suatu komoditas politik.

Bahkan, setiap perbuatan baik apabila dianggap berpotensi merugikan kepentingan kelompok maupun golongannya, maka akan serta merta dipelintir menjadi suatu isu politik “murahan.”

Sedemikian jahat dan kelamnya kah hati kita?

Bencana alam yang bertubi-tubi di negara kita sungguh menyisakan penderitaan dan kesedihan mendalam bagi saudara-saudara kita yang menjadi korban atau terdampak bencana.

Ke mana hilangnya rasa empati dan simpati kita kepada mereka?

Mengapa kita berusaha mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain dengan senantiasa mempolitisir setiap bencana?

Lupakah bahwa kapan saja penderitaan yang sama bisa menimpa kita pula?

Jangan butakan hati kita dengan rasa dengki dan nafsu syahwat politik yang membunuh rasa kemanusiaan kita. Jangan menjadi politisi maupun kritikus picisan yang hanya berusaha memancing di air keruh, demi memenuhi dahaganya untuk menghujat ataupun demi meraih keuntungan politis bagi pribadi maupun kelompoknya belaka.

Bersyukurlah karena kita masih diberi kesempatan dan kelapangan untuk membantu dan meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang tengah bersedih hati.

Mari kita introspeksi diri kita masing-masing, agar selalu menjaga prasangka baik. Sehingga hati dan pikiran kita hanya dipenuhi dengan kebaikan dan ketulusan hati.

Mari kita bersihkan mulut-mulut culas kita dari fitnah, hasut, kemunafikan dan dendam politik dengan bahu membahu mendukung pemerintah dan berbagai kalangan yang tengah berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi dan mengurangi dampak bencana alam ini.

Mari bekerja keras dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan untuk membantu mereka. Hal ini tentunya lebih mengasyikkan daripada memenuhi hati dengan kebencian, kedengkian dan kemunafikan.

Jangan berusaha menjadi politisi dan kritikus busuk diatas penderitaan saudara-saudara kita.

Keuntungan politik yang didapat dari menebarkan prasangka, fitnah dan kebencian di atas penderitaan saudara-saudara kita yang menjadi korban bencana, sama halnya dengan “memakan daging yang telah membusuk.”

Tidak akan pernah menjadi kenyang, melainkan kita akan semakin “sakit.”

Sakit karena begitu kotornya jiwa dan hati kita yang merasa “senang melihat orang lain susah” dan “susah melihat orang lain senang.”

Bencana bukan “sensualitas” untuk memicu “libido politik” yang menghalalkan segala cara.

Namun “sensualitas” untuk menggoda kita “berbuat baik” dan “membersihkan diri” dari pikiran dan perbuatan culas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline