Indonesia dalam keadaan berduka, karena tepat pada tanggal 28 Februari 2021 sekitar pukul 14.00 WIB, salah satu pendekar hukum terbaik Indonesia yakni Almarhum Bapak Artidjo Alkostar, telah menghembuskan nafas terakhirnya. Informasi ini diawali dari sebuah postingan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Prof. Mahfud M.D.) melalui twitter resminya @mohmahfudmd Minggu (28/2/2021) yang berbunyi:
"Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yang penuh integritas. Mantan hakim agung Artidjo Alkostar yang kini menjabat sebagai salah seorang anggota Dewan Pengawas KPK telah wafat siang ini. Inna Lillah Wainna Ilahi raji'un. Allahumma ighfir lahu".
"Sang Pendekar Hukum Sejati"
Berbicara tentang julukan "Sang Pendekar Hukum Sejati", sudah tidak dapat kita pungkiri merupakan julukan yang tepat dan patut kita sandingkan dengan Almarhum Bapak Artidjo Alkostar, karena semenjak beliau berkarir menjadi seorang Hakim Agung Kamar Pidana, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada tahun 2000 sampai dengan pada akhir tugasnya menjadi Hakim Agung pada tanggal 22 Mei 2018.
Selama 18 tahun itulah sepak terjang prestasi telah banyak ia ukir dan menciptakan suatu gebrakan hukum yang sangat kontroversial pada masa itu, serta tidak jarang mengundang perhatian banyak opini publik mengenai "putusannya" yang seringkali dianggap para Koruptor justru merasa menyesal untuk mengajukan upaya hukum Kasasi maupun Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Penyebabnya adalah karena putusan yang diterbitkan oleh Almarhum, selalu memberikan putusan yang lebih memberatkan ketimbang putusan Hakim dari tingkat Pengadilan sebelumnya. Seperti contohnya:
- Dalam kasus yang menjerat mantan kader Partai Demokrat, Angelina Sondakh. Dimana yang sebelumnya hanya mendapatkan putusan 4 tahun penjara dari Pengadilan tingkat sebelumnya, kemudian berubah menjadi 12 tahun penjara setelah di putuskan di MA RI;
- Dalam kasus mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Dimana sebelumnya mendapatkan putusan 7 tahun penjara, kemudian berubah menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp. 5 Miliar, subsider satu tahun empat bulan kurungan;
- Dalam kasus Ratu Atut Chosiyah selaku mantan Gubernur Banten yang sebelumnya mendapatkan putusan 4 tahun penjara, kemudian ditambah menjadi 7 tahun penjara.
- Dalam kasus korupsi proyek E-KTP yang dilakukan oleh terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong yang awalnya mendapatkan putusan 8 tahun penjara, kemudian ditambah menjadi 11 tahun penjara.
Penggalan contoh kasus yang tersebut diatas, itu tidak ada dari jumlah total kasus yang pernah ditangani oleh Almarhum Bapak Artidjo, mengingat sepanjang beliau menjadi Hakim Agung MA RI, Almarhum telah menyelesaikan berkas perkara yang masuk keruangannya sebanyak 19.708 perkara. Sehingga bila dirata-rata, maka selama 18 tahun, beliau telah menyelesaikan 1.095 perkara setiap tahun (dikutip dari KOMPAS.COM 31/05/2018, 11:48 WIB).
Menurut Almarhum, ketika ditanya mengenai (alasan mengapa ia sering memutuskan suatu perkara yang kemudian berujung pada memperberat masa hukuman dari para Koruptor?) adalah: "Karena, menurut beliau penegakan kebenaran dan keadilan sesuai fakta yang obyektif dan meluruskan penerapan pasal-pasal yang relevan sesuai kasus, menjadi alasan hukuman terhadap koruptor yang mengajukan kasasi justru dinaikan" (dikutip dari KOMPAS.COM 28/02/2021, 16:17 WIB).
"Tidak menerima tamu yang ingin membericarakan perkara"
Kurang lebih seperti itulah "tanda" berupa tulisan yang tertempel didepan pintu Ruang Kerja Almarhum di Gedung MA RI. Bahwa "tanda" tersebut bukan berarti tanpa maksud, namun sebagai bentuk penegasan dari dalam hati nurani Almarhum itu sendiri yang sering kali kesal, ketika tamu yang mendatangi ruangannya, bertujuan untuk membicarakan tentang kasus yang sedang ia tangani serta bermaksud untuk melakukan negosiasi ataupun kesepakatan-kesepakatan yang menyalahi aturan hukum.
Sehingga jika dilihat dari sikap dan sifat ke profesionalitasannya dalam bekerja, Almarhum ini dikenal oleh publik maupun oleh almamater kampusnya, dipandang sebagai sosok yang memegang teguh nilai-nilai integritas, kejujuran, objektifitas yang tinggi dan zero toleransi terhadap suap. Lantas apakah masih perlu di pertanyakan kembali? soal "Kredibilitas maupun Prestasi dari Almarhum" yang diragukan, guna menjadi alasan mengapa Almarhum itu patut di usulkan mendapat Gelar Kepahlawanan?
"Syarat pengajuan Gelar Kepahlawanan"