Lihat ke Halaman Asli

Yudhistira Mahasena

Desainer Grafis

Enak dan Tidak Enaknya Belajar Bahasa Jawa

Diperbarui: 4 Januari 2024   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bismillahirrahmanirrahim.

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang analogi bahasa Jawa dengan dialek bahasa Inggris yang dituturkan di Inggris Raya. Kali ini kita akan membahas enak dan tidak enaknya belajar bahasa yang dituturkan oleh suku Jawa, di Tatar Jawa ini.

Tidak dapat dipungkiri lagi saya memiliki family roots di Tatar Jawa, walaupun bedanya kebanyakan keluarga papa saya di Jateng tepatnya Jogja dan mama memiliki akar keluarga di Jatim tepatnya Madiun. Seperti bisa kita tebak, masyarakat kedua kota ini berbahasa Jawa sebagai bahasa daerah, walaupun dialek yang digunakan sangat jauh berbeda. Masyarakat Jawa Tengah dan Jogja (+ sebagian Jawa Timur) menggunakan dialek Mataraman, yang merupakan dialek standar bahasa Jawa, sedangkan masyarakat Jawa Timur terutama Surabaya dan Malang menggunakan dialek Arekan. Saya sendiri sedang mempelajari bahasa Jawa dialek Mataraman, dengan tingkatan kromo inggil (sangat sopan). Jogja dan Madiun sama-sama menggunakan bahasa Jawa Mataraman.

Belajar bahasa Jawa ada enak dan tidak enaknya. Enaknya, karena kita dapat belajar melestarikan bahasa daerah dengan bahasa yang identik dengan kesopanan. Lewat kata-kata tegur sapa seperti kulo nuwun, nuwun sewu, ngapunten, matur nuwun, dll., kita belajar etika sederhana suku Jawa. Bahkan ada sejumlah tokoh pemuka agama di Indonesia yang masih melestarikan bahasa Jawa ketika berceramah, seperti Gus Baha dari Rembang dan Gus Kautsar dari Kediri.

Namun tidak enaknya, belajar bahasa Jawa itu ruwet. Kita harus memperhatikan dengan siapa kita berbicara. Prinsip dasar berbahasa Jawa yaitu "memuliakan orang lain dengan merendahkan diri". Tingkatan bahasa Jawa yang saya sedang pelajari, yaitu kromo inggil, hanya digunakan untuk situasi resmi. Ini sesuatu yang baru saya tahu ketika dewasa sekarang. Sebagai contoh, untuk kata "Anda" atau "kamu", di tingkat ngoko kita menggunakan "kowe", di tingkat kromo madya kita menggunakan "sampeyan", dan di tingkat kromo inggil kita menggunakan "panjenengan".

Contoh lain adalah kata "tidur".

Ngoko = turu
Kromo madya = tilem
Kromo inggil = sare

Dalam tingkatan kromo inggil, "saya ingin tidur" yaitu "kulo badhe sare". Namun, ingat bahwa prinsip berbahasa Jawa yaitu memuliakan orang lain dengan merendahkan diri. Kita tidak boleh meninggikan diri ketika berbahasa Jawa, karena suku Jawa sangat menghargai sikap rendah hati. Jadi mungkin, your last resort ketika berbicara dengan sesepuh adalah dengan tingkatan kromo madya (antara ngoko dan kromo inggil), yang artinya jika kita mengucapkan bahwa kita ingin tidur kepada sesepuh yaitu "kulo badhe tilem".

Belajar bahasa daerah itu perlu, namun kita harus memperhatikan pula dengan siapa kita berbicara. Seperti saya yang juga sambil bertutur dalam bahasa Sunda di orang persekitaran saya di Cimahi, saya selalu menggunakan "abdi" bukannya "aing" atau "urang", sambil belajar.

Tabik,
Yudhistira Mahasena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline