Kejutan! Meski tidak benar-benar terkejut, hasil rerata semua Quick Count memberikan ilustrasi kondisi politik pasca pemilihan. Meski harus tetap menunggu rekapitulasi berdasarkan hasil Real Count, setidaknya hasil hitung cepat sebagai sebuah metode ilmiah dapat menjadi pembanding, dari cermin realitas politik kita. Situasinya, anomali.
Kondisi tersebut terlihat dalam beberapa hal, baik dalam konteks pemilihan presiden maupun legislatif. Belum diketahui benar berapa tingkat partisipasi dalam proses pemilu kali ini, berdasarkan data historis partisipasi pemilih sekitar 70-80 persen. Sepintas secara kasat mata, terlihat tingginya antusiasme publik.
Bila kemudian menelaah data, dari hasil Quick Count yang dilakukan Litbang Kompas (15/2), pukul 15.43 dengan data masuk sekitar 94.35 persen, maka kita akan melihat berbagai kondisi yang menarik:
Pertama: rentang jarak elektabilitas yang tebal. Bila merunut pada komposisi pengusung, maka paslon yang unggul dalam hal ini Prabowo-Gibran 58.51 persen berselisih lebih dari 30 persen dari peringkat kedua Anies-Muhaimin.
Kendati demikian, keunggulan tersebut tidak mampu memberi efek elektoral secara maksimal pada perolehan suara partai Gerindra hanya 13.55 persen. Gerindra berada di peringkat ketiga dalam daftar kelasmen kompetisi partai di 2024.
Boleh jadi migrasi suara bagi paslon 02, diperoleh dari keberadaan Gibran yang mewakili representasi Jokowi. Terlepas dari bagaimana proses keterpilihannya dalam proses kompetisi, yang disebut banyak pihak melanggar etika dan mengakali konstitusi.
Termasuk berbagai fenomena yang terlihat “serba kebetulan” dalam menyertai kehadiran Gibran di pentas politik nasional. Film Dirty Vote yang dirilis menjelang pencoblosan, membeberkan rentetan peristiwa samar dalam ruang gelap, untuk mempertahankan kekuasaan.
Terlebih, ada keterpisahan antara Pilpres dan Pileg. Keterpilihan paslon 02, tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mendulang suara dari partai-partai pendukung. Hanya Golkar dengan 14.61 persen yang berhasil berselancar dengan baik. Pengalaman panjang membuktikan kemampuan "Beringin".
Bahkan, beberapa diantaranya mengalami koreksi -plus minus dalam perolehan suara. Sebut saja Demokrat mendapat 7.61 persen, PAN beroleh 7.06 persen. Kondisi ini mungkin berubah bila galat margin error ditambahkan sebagai faktor koreksi.
Kedua: meski memiliki sumberdaya yang besar dalam kapasitas kampanye, partai seperti PSI hanya mendulang 2.83 persen dalam koalisi Indonesia Maju-Prabowo Gibran, dan Perindo memperoleh 1.36 persen yang berada pada koalisi PDIP-Ganjar Mahfud, juga tidak mampu terdongkrak untuk masuk ke ambang batas parlemen.
Dalam kajian terhadap PSI misalnya, meski dengan upaya merekatkan citra Jokowi dan bahkan dipimpin ketua partai yang juga anak Jokowi, nyatanya tidak berdampak banyak. Mekanisme kepartaian dan pembentukan partai politik membutuhkan durasi lapangan yang konsisten, tidak bisa secara instan.