Miris! Kampus perguruan tinggi negeri menyarankan untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran biaya perkuliahan dengan menggunakan pinjaman online. Sekilas, usulan yang diajukan sebagai sebuah penyelesaian masalah terlihat benar, meski secara substansi ada lubang besar yang fundamental dari sistem pendidikan kita.
Ketika institusi pendidikan pemerintah, mencari alternatif cara dalam mereduksi potensi gagal bayar mahasiswa dengan menggunakan skema pinjaman lembaga keuangan, tentu ada persoalan yang bisa terbaca disana. Jika hal itu terjadi, maka kita luput membicarakan hal pokok dari kebisingan politik kontemporer. Peran negara dipertanyakan, tanggung jawab mencerdaskan anak bangsa adalah amanah yang diemban.
Dalam kerangka finansial, pinjaman peer to peer sebagai bentuk modern lembaga pembiayaan yang terkategori sebagai startup fintech merupakan sebuah terobosan legal dari kebutuhan pembiayaan publik. Tetapi ketika dipadukan dengan kebutuhan biaya pendidikan, maka hal tersebut terlihat memprihatinkan.
Tingkat angka partisipasi kasar pendidikan tinggi kita sekitar 30%, tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Bahkan lebih jauh lagi, petinggi negeri menyampaikan kekagetan bila lulusan S2 dan hanya 0.45%, jauh tertinggal dari berbagai negara tetangga di sekitarnya. Kita mafhum bila para penguasa kerap kali kaget terhadap suatu fakta, namun perlu aksi dan komitmen tindakan yang lebih dari sekedar kekagetan.
Pola solusi pembiayaan kuliah dengan mengedepankan fasilitas pinjaman online, semakin menegaskan format komersial pendidikan tinggi di tanah air. Gejala komodifikasi dari perguruan tinggi yang seharusnya menjadi wilayah kelolaan kampus swasta, ternyata merasuk ke kampus negeri, tentu mengecewakan.
Konstruksi dasar dari permasalahan yang terjadi di perguruan tinggi bisa didekati dengan ilustrasi kurva normal, sebuah grafik yang menggambarkan sebaran populasi dalam bentuk bukit dan gunung. Hal tersebut menjelaskan bahwa sekitar 25% diantara publik terbagi dalam dua bagian terujung, yakni mereka yang tergolong mahasiswa cerdas -mampu mengakses beasiswa dan kelompok tertinggal, sementara 75% bagian diantaranya merupakan kelompok umum mahasiswa dengan kapasitas kemampuan rerata.
Bila kemudian kita melihat proporsi penerimaan mahasiswa perguruan tinggi negeri saat ini, maka jumlah terbesarnya diperoleh melalui jalur tes mandiri, dengan biaya semester uang kuliah tunggal yang kompetitif berhadapan dengan kampus swasta, dengan keunggulan branding nama besar kampus negeri. Daya tampung perguruan tinggi negeri juga semakin bertambah, bahkan dapat membuka cabang daerah untuk memperluas ruang kampus, sekaligus menambah secara signifikan jumlah mahasiswa.
Komitmen dari tanggung jawab negara untuk menyediakan anggaran sebesar 20% bagi sektor pendidikan seakan tidak terlihat ketika fenomena kasus pinjol di kampus negeri mengemuka. Lantas bagaimana opsi bentuk yang dapat ditawarkan dari mekanisme pembiayaan kuliah yang solutif?
Pertama: mengembalikan peran negara dalam tanggung jawab mencerdaskan generasi masa depan, termasuk meningkatkan persentase jumlah peserta didik di perguruan tinggi. Komitmen dari penyelenggara negara mencerminkan kepedulian untuk memperhatikan sumberdaya manusia sebagai hal utama, dibandingkan pembangunan infrastruktur fisik yang selalu diumumkan sebagai keberhasilan.
Kedua: menempatkan peran perguruan tinggi negeri untuk berkonsentrasi pada upaya peningkatan kualitas, berfokus pada upaya mendidik mahasiswa dengan target kelas dunia yang kompetitif. Dengan demikian, maka kampus negeri mengelola dengan ranah spesifik yang bersifat keunggulan terbaru.
Ketiga: memberdayakan dukungan kampus swasta untuk dapat berkontribusi dalam membangun anak bangsa. Selama ini kampus swasta berjalan tanpa subsidi, bahkan dengan budget kuliah yang sangat efisien, kerap tertinggalkan dari kebijakan pengambil keputusan.