Break The Bias! Begitu tema Hari Perempuan Internasional 2022 (8/3). Hal itu selaras dengan kehendak untuk melihat kesetaraan sebagai sebuah bingkai indah kehidupan.
Sebuah makna yang mendalam guna mendapatkan keadilan, penghargaan atas perbedaan serta bebas dari diskriminasi.
Persoalan perempuan membentang panjang dari latar sejarah kehidupan manusia. Praktik seksisme, misogini hingga budaya patriarki telah terinternalisasi begitu dalam.
Pokok utamanya dalam kesetaraan gender adalah melihat kedua belah pihak lelaki dan perempuan, sebagai subjek yang saling terkait.
Ketika tema Hari Perempuan sedunia, masih mengkampanyekan mengenai upaya untuk keluar dari perspektif yang bias bagi kaumnya, maka permasalahan ini jelas menjadi problematika bersama. Konstruksi sosial yang melekat melalui sistem serta budaya patriarki, perlu dikoreksi ulang.
Tentu kita bisa mulai dengan pilihan diksi yang menggandung makna sejarah, untuk menyebut perempuan atau Wanita dengan segala penjelasannya. Kedua kata tersebut, secara bersama dan sekaligus mengalami perubahan makna, dalam bentuk buruk -peyorasi maupun baik -ameliorasi.
Substansi dasarnya, kedua kata tersebut merujuk pada subjek yang sama, dan dalam realitasnya tengah berhadapan dengan tantangan lingkungan sosial yang tidak ramah.
Problem Struktural
Kendala yang dialami para perempuan terpotret dalam sebuah film dokumenter Netflix, berjudul City of Joy, 2018. Lokasi kejadiannya di kawasan Afrika, daerah konflik Kongo.
Tergambarkan bagaimana penderitaan perempuan terbentuk secara berlapis, tidak hanya dari tingkat keluarga hingga struktur sosial ditengah kekacauan pemberontakan serta perang kelompok, termasuk kekerasan seksual yang terjadi.