Heroik! Semboyan itu dikumandangkan Bung Tomo dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Prinsip perjuangannya adalah "merdeka atau mati".
Pilihan kata merdeka, menjadi padanan yang setara dari kata hidup. Kehidupan yang merdeka jelas menjadi harapan kaum terjajah.
Pada masa itu, tidak ada pilihan lain. Kelahiran republik harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Semangatnya membara. Di alam kemerdekaan, kita memiliki kebebasan.
Kini tidak ada lagi "merdeka atau mati", karena terbukanya ruang pilihan lain. Amanat kemerdekaan adalah "hidup yang merdeka".
Persoalannya apakah kita telah benar-benar merdeka? Pertanyaan ini menjadi titik reflektif di momen peringatan ke-76 kemerdekaan kita.
Jembatan Emas
Kemerdekaan itu, dalam pemikiran Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka, 1933 harus dipahami sebagai sebuah kesadaran untuk menjadi suatu jembatan emas.
Di belakang Indonesia merdeka, harus didirikan gedung keselamatan, agar kita terbebas dari tindasan kapitalisme. Sebuah abstraksi yang mengagumkan.
Sekarang kita tengah ada di situasi yang problematik. Pandemi dan kebebasan sebagai ekspresi demokrasi, masih saja mengalami represi
Kajian LP3ES 2021, menyebutnya sebagai fenomena, demokrasi tanpa demos, terjadi kemunduran -regresi dalam kehidupan sosial-politik kita. Publik sebagai pemilik kuasa kehidupan bernegara terpinggirkan.
Elitisme dan kesenjangan terjadi. Kita tidak sedang terjajah secara fisik, tetapi juga tidak dalam kondisi baik-baik saja di alam merdeka.