Pandemi menjadi kata paling sentral sepanjang tahun 2020. Setiap sendi kehidupan dipaksa untuk berubah. Termasuk hari raya dan perayaan hari besar keagamaan.
Tidak dipungkiri, kita mengalami disrupsi peradaban. Sifat kehidupan yang dinamis, mengharuskan manusia untuk mampu beradaptasi dengan perubahan.
Keterbatasan ruang gerak dari interaksi manusia, sebagai akibat penularan wabah menciptakan momentum bagi pemikiran ulang tentang makna kehidupan. Ternyata rutinitas hidup dari kebiasaan kehidupan terdahulu sebelum pandemi, yang kerap dianggap membosankan serta penuh kejenuhan kembali dirindukan.
Pada perspektif yang berbeda, kehadiran pandemi dalam kehidupan kita sekaligus menciptakan makna baru tentang bentuk kehidupan yang lebih terdigitalisasi dan sederhana dari kompleksitas modern. Sebuah fenomena yang disebut Yasraf A Piliang, sebagai wajah pasca dunia yang dilipat akibat kemajuan modernitas.
Pada kehidupan modern, kita kehilangan waktu akibat percepatan teknologi dan digitalisasi. Kini, wabah memaksa kita untuk memutar waktu, memaksanya kembali berjalan perlahan untuk menyusun strategi berhadapan dengan virus yang tidak kasat mata. Kehidupan modern, sejatinya ada di antara dibenci sekaligus dirindu.
Kita kehilangan makna sosial di dalam kehidupan monoton modern, tetapi kini di era pandemi kita kembali merindukan kehidupan repetitif kembali. Pasca pandemi, ada norma kehidupan baru yang mungkin tercipta untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia sejalan dengan fase adaptasi seluruh kegiatan dari rumah.
Keluarga dan relasi sosial dalam ranah domestik, sesungguhnya menjadi medan utama kehidupan kita. Selama ini daya tarik dari gemerlapnya kehidupan modern dengan segala kesibukan yang ditimbulkannya, menjauhkan kita dari pokok kehidupan keluarga, selama pandemi kita dipaksa menjalin ulang relasi tersebut.
Pemaknaan Pandemi
Tidak pelak pandemi sejatinya membuat kita sampai pada keharusan untuk meredam seluruh sikap egosentris manusia terhadap alam. Injak rem, karena laju pembangunannya hidup manusia kerap mengesampingkan daya dukung alam.
Eksploitasi yang tidak berkesinambungan memunculkan konsekuensi masa depan hadir hari ini sebagai sebuah situasi krisis kebencanaan, termasuk wabah.
Faktor yang disebut memicu ketamakan akumulatif bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia distimulasi oleh kerangka ekonomi, dalam kerangka produksi dan konsumsi yang dibungkus perspektif kapitalisme. Pada konsep tersebut, proyeksi keuntungan menjadi motor penggerak dengan berbagai ekses turunan yang sulit ditolak.