Hidup dan kematian bersanding. Tetapi dunia lebih memilih kematian sebagai pokok kecintaan. Kajian psikologis Erich Fromm dalam buku Perang Dalam Diri Manusia, memperlihatkan bagaimana manusia memilih dengan sadar hidup untuk mati. Dalam kerangka kehidupan bernegara modern, struktur anggaran pertahanan dan perang bahkan bisa lebih besar dari alokasi kesejahteraan.
Jebakan awalnya terletak pada aspek alamiah yakni keberadaan ruang perbedaaan, yang tidak diimbangi dengan kemampuan inklusif, sehingga tercipta rasa ekslusivitas dan superioritas. Bahkan peribahasa latin menempatkan prinsip, si vis pacem, para bellum -jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Manusia menampilkan wajah yang tidak bersahabat.
Bersikap sebagai predator bagi sesamanya, merupakan gambaran sisi kelam manusia. Tidak hanya itu, bahkan ditamsilkan sebagai serigala bagi manusia lainnya -homo homini lupus. Pada konstruksi kehidupan bersama yang ditempatkan pada negara, maka segala hal yang bersifat destruktif direduksi dengan menggunakan instrumen peraturan. Harmoni kepentingan publik adalah muara tujuannya.
Sayangnya, perilaku buas dalam diri manusia tidak bisa hilang. Bahkan bisa dengan sangat cepat berubah layaknya insting binatang -animal instinct lebih daripada konsep dasar animal rationale sebagai makhluk yang berpikir rasional bagi diri dan lingkup sosialnya. Relasi kuasa dalam format kehidupan bersama menjadi bercorak bengis. Kebijakan yang diambil sepihak, berbicara kepentingan sempit.
Tidak percaya? Lihat saja kasus korupsi yang terjadi di saat bencana, atau layaknya pengesahan peraturan yang tidak lagi mengutamakan aspirasi publik. Tetapi itu realita kita dalam kehidupan dunia yang nekrofili, ada kelainan psikologis disana. Kekuasaan itu melenakan dan membutakan, maka kematian tidak lagi dipandang sebagai kegetiran, melainkan menjadi permainan kekuasaan.
Pelajaran Pahit Pandemi
Tidak pelak, kehadiran pandemi di 2020, menjadi penguak tabir gelap dalam kotak pandora. Kita tidak benar-benar menginginkan kehidupan, tetapi kita masih juga risau dengan kematian dalam makna sejatinya. Padahal dalam kenyataan keseharian, kematian manusia terus terjadi akibat perang dan kebijakan yang tidak berpihak pada kelompok marjinal, mereka yang memerlukan pertolongan hidup.
Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, dalam film documenter National Geographic berjudul Going Viral: Beyond The Hot Zone, 2019, kita memang terbilang abai dalam memperhatikan perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi alamiah kehidupan terkait dengan wabah. Ebola menjadi sedemikian menakutkan, setelah sebelumnya terjadi di sebagian Kawasan Afrika, dan tidak mendapatkan perhatian serius dunia.
Wabah sebagaimana Ebola dan Covid-19 adalah bagian dari siklus berulang, yang mungkin akan dapat hadir kembali dalam dimensi berbeda di kemudian hari. Lalu apa yang kita dapat pahami dari kejadian tersebut? Kendala pengentasan persoalan Ebola di Afrika terjadi karena perang secara fisik di berbagai negara pada Benua Hitam tersebut. Sementara, Covid-19 ada di situasi proksi konflik perang dagang.
Manusia masih sibuk berperang hingga lupa soal hidup yang sementara. Dalam konteks lokal, pandemi juga tidak mampu dimengerti sebagai sebuah momentum untuk mengedepankan keselamatan bersama, karena kecepatan penularannya, justru terbelenggu dalam riak-riak selisih politik yang tidak berkesudahan serta tidak berkontribusi langsung pada penuntasan problematika pelik pandemi,
Arundhati Roy, pemenang BookerPrize 1997 menyebut pandemi adalah portal bagi kehidupan yang baru. Bahkan filsuf Slavoj Zizek menawarkan konsep radikal sebagai formula tatanan kehidupan sosial, untuk keluar dari pandemi, dengan logika bahwa jaminan atas kehidupan kolektif akan tercipta bila kita mengesampingkan hak individu. Tentu kita bisa berdebat dan tidak seluruhnya sependapat atas hal itu.