Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Trump dan Komunikasi Suara Tersembunyi

Diperbarui: 5 November 2020   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

KETAT. Trump membalik semua prediksi tentang kemenangan mudah Biden. Persis sebagaimana kemenangan di Pilpres 2016, radar dari berbagai lembaga survei ternyata tidak mampu membaca pergerakan dinamis para pemilih secara pasti. Lagi-lagi Trump adalah pencetak sejarah.

Tentu proses akhirnya perlu ditunggu, hingga babak final dinyatakan selesai. Meski Biden sementara unggul dengan 264 -membutuhkan 6 suara elektoral tambahan untuk sampai ke batas kemenangan 270, fenomena Trump yang masih mampu melakukan perlawanan sengit perlu menjadi pelajaran berharga.

Ternyata soliditas basis pendukung masing-masing kandidat masih terkonsolidasi dengan baik, pasca Pilpres 2016. Dengan begitu medan pertarungan terjadi di beberapa negara bagian yang disebut swing state -dengan karakter pemilih tentu saja swing voters, bergantung persetujuan pada tema kampanye.

Kalau sempat melihat sengitnya dua babak debat Pilpres Amerika, tampaknya memang kemampuan retorika Trump sebagai orator lebih dominan dibandingkan Biden. Karena itu pula, format tampilan debat kedua memberikan kuasa tombol mute kepada moderator acara, agar tidak terus diinterupsi.

Profil pemilih yang terpetakan sementara memperlihatkan (Republika, 5/11), konsentrasi dukungan pada Trump dikontribusi pemilih lelaki kulit putih berusia di atas 45 tahun dan berpendidikan. Hal ini menguatkan premis Trump pada tagline Keep America Great dan supremasi kulit putih diterima publik.

Dengan begitu, slogan Biden yang Build Back Better dengan menonjolkan kelemahan Trump dalam mengatasi pandemi sesungguhnya tidak terlalu banyak memberi dampak. Sokongan suara bagi Biden terkonstruksi pada pemilih perempuan, kulit berwarna dengan usia di bawah 40 tahun.

Gagasan tentang tawaran untuk keluar dari konservatisme ala Trump, dan lepas dari perangkap kebuntuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 menjadi penguat pilihan bagi kelompok pendukung Biden, prinsipnya "asal bukan Trump". Biden mendapatkan keuntungan dukungan karena Covid-19? Tentu saja.

Pandemi menjadi batu sandungan bagi Trump, termasuk akibat berbagai kontroversinya tentang yang disebutnya sebagai virus China dan pendekatan non ilmiah yang dibuat seperti soal masker, yang pada akhirnya membuat Trump terinfeksi Covid-19, meski kemudian mengalami recovery yang luar biasa. Ketangguhan Trump mengalahkan Covid-19, agaknya tidak cukup mampu membawa dampak elektoral.

Atraksi Trump di Twitter

Kemampuan Trump untuk tetap memberikan tekanan pada Biden, terlihat dari kejar mengejar angka perolehan suara. Tidak bisa dipungkiri, Donald Trump adalah Presiden yang tampil secara ekspresif dan eksis di media sosial, khususnya Twitter. Ketik saja "Trump" di Google, ada 1,39 miliar hasil temuan.

Sementara itu, di Twitter Trump adalah politikus dengan jumlah follower 88 juta, atau yang kedua terbesar setelah Obama -124 juta. Dalam profilnya di Twitter, Trump menautkan portal website dan menuliskan Presiden ke 45 Amerika Serikat. Hebatnya Trump hanya mem-follow 50 orang saja, dibanding following Obama yang 559 ribu. Lebih dari itu, cuitan Trump jauh lebih massif sebanyak 58 ribu, berbanding Obama dengan 16 ribu twit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline